Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Minggu, 03 Maret 2013

Catatan sejarah yang belum rampung dibaca

Hari ini, ingin jalan-jalan cari sepatu dan jaket, saya butuh dua hal tersebut, tapi lantaran modal tidak mencukupi maka harus dipilih salah satu, saya tidak tahan dingin dan saya juga butuh sepatu untuk berdiri dihadapan para siswa. Mungkin akan lebih baik jika jaketnya belakangan, sepasang sepatu nantinya juga bisa jadi modal.

Kata Pak Hadi diwilayahnya adalah sentra pengrajin sepatu kulit, ada banyak pilihan disana, Bululawang. Sedikit siang nanti saya akan berangkat kesana, salah satu dari wilayah santri, tidak seperti di Singosari, tiap kali berada di Bululawang saya berimajinasi tentang kondisi masyarakat di tahun 60-an, mungkin gara-gara terlalu serius membaca buku "Palu arit diladang tebu".

Dalam buku tersebut diceritakan bahwa wilayah yang terdapat pabrik gula adalah juga wilayah hegemoni, baik kelompok komunis maupun agamis (disini oleh PKI dan NU) menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai medan perebutan pengaruh, setiap ada pabrik gula pasti akan ada pesantren; pun LEKRA akan dihadapkan dengan LESBUMI. Pemilik lahan tebu akan berlindung dalam naungan NU~bahkan ada yang tiba-tiba berstatus "haji" atau "kyai" untuk mendapat simpati dari kalangan NU, ini bukan suatu hal yang kebetulan sebab propaganda PKI yang membenci feodalisme juga memasukkan para pemilik lahan sebagai daftar musuh lewat tujuh setan desanya.

Aksi perampasan lahan dan teror menjadi kabar harian, sebagaimana juga aksi balasannya dimana para pemilik lahan yang terampas lahannya mengorganisasikan santri untuk merebut kembali lahannya. Hal ini juga mengingatkan saya pada kasus "dukun santet" yang seringnya ditujukan kepada para ulama, pada masa itu kabarnya orang yang dituduh sebagai "dukun santet" dibantai oleh ninja, jadilah isu kehadiran "ninja" ini menjadi pengaruh tersendiri didalam masyarakat sampai-sampai sering terjadi pembunuhan terhadap beberapa orang gila yang dicurigai sebagai "ninja".

Pesantren adalah kantung budaya yang berupaya memposisikan dirinya sebagai perisai, pada masa 60-an pesantren~kususnya disekitaran pabrik gula juga diisi oleh para buruh dan petani tebu, tidak hanya sebagai wahana mencari pengetahuan spiritual tapi juga merupakan tempat perlindungan spiritual, yaitu sebagai tempat untuk me"refresh" kejiwaan para santri setelah seharian bergaul dan "bertempur" di wilayah hegemoni. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi karena PKI tidak seperti kebanyakan partai yang ada pada waktu itu yang mengedepankan kekuatan asing sebagai musuh, PKI lebih berkonsentrasi pada musuh-musuhnya yang berada didalam negeri. Disamping itu, juga lantaran berlakunya UU land reform, ini merupakan prasasti keberhasilan PKI dalam pemerintahan, yang oleh berlakunya UU land reform ini para kyai pemilik lahan menjadi korban terbesarnya.
...........................................................................................................................
Rencana seharusnya saya harus mampir ke rumah Pak Hadi, berhubung lupa gang dan hp yang tertinggal maka seharian berkeliling sendirian. Cari sepatu.

Sejak dari masuk Bululawang saya mulai menghitung jumlah Pondok Pesantren yang ada, tapi begitu mendapati sebuah toko jaket kulit (juga jual sepatu dan benda-benda dari kulit) hitungan saya langsung "buyar".

Ada satu PP terbesar diwilayah ini, An Nur kabarnya akronim dari nama pendirinya KH. Anwar Nur, menurut beberapa orang narasumber yang saya tanyai saat 'ngopi' beliau berasal dari Pamekasan-Madura, tapi ada juga pendapat yang membantah hal tersebut bahwa KH. Anwar Nur dilahirkan di Probolinggo. PP An Nur sendiri secara resmi didirikan pada tahun 1942, jadi jauh sebelum terjadinya peristiwa perebutan lahan pertanian. Sama sekali tidak terdapat penjelasan mengenai peristiwa sepanjang tahun 60-an di daerah Bululawang selain ada yang mengatakan bahwa banyak santri yang berdatangan pada waktu itu untuk mendapatkan ilmu kanuragan, tapi Kyai Anwar sendiri lebih mengedepankan ilmu pengetahuan ketimbang kanuragan. Mungkin butuh banyak waktu untuk mendalami hal ini, dan tentunya harus seijin pihak yang bersangkutan.

Sebagaimana juga penjelasan dari seorang bapak yang mengaku sebagai 'saksi mata peristiwa 65', di Malang "titik-titik pembantaian simpatisan PKI" adalah di Singosari, Tumpang dan Lawang. Malah dari penjelasan bapak yang tidak sempat saya ketahui namanya ini saya juga mendapati informasi tentang sebuah masjid di daerah Kota Lama-Malang, Masjid Muritsul Jannah, Pembangunannya pada tahun 1965 dan sesuai nama awalnya Mushola Darus Salam yang berarti "rumah keselamatan" yang pada akhirnya juga memberi keselamatan bagi penduduk sekitarnya waktu itu yang kebanyakan adalah anggota BTI. Cukup menarik.
.....................................................................................................................
Rencananya waktu perjalanan pulang mau mampir ke Masjid Muritsul Jannah, tapi saya malah mengarah ke daerah Kacuk~mungkin waktu itu saya sedang melamun dan sepertinya hujan sudah tidak tahan lagi untuk mengguyur Kota Malang yang sedang memanas maka saya putuskan untuk menunda rencana terakhir saya itu. Sungguh saya masih penasaran dengan peristiwa berdarah yang sebenarnya murni konflik politik yang sebenarnya juga merupakan peristiwa genosida ini.

Bukan bermaksud mengungkit kejadian kelam, tapi memang pada dasarnya sudah penasaran dan saya tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Saya pulang dengan membawa sepasang sepatu "safety" dan harapan akan ada waktu luang untuk memperdalam hal-hal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar