Pramoedya Ananta Toer

"kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu"

Senin, 11 Maret 2013

Membangun etika-estetika untuk bangsa yang beradab

Saya tidak begitu mengerti, sebagaimana kebanyakan orang yang tidak akan mengerti ketika mendapati realita Indonesia, mungkin karena alasan inilah kurikulum pendidikan Indonesia mengalami revolusi, berubah dalam waktu yang singkat, kini masyarakat pendidikan sedang bersiap-siap menggerakkan kurikulum baru yang populer dengan istilah kurikulum 2013.

Tanpa perlu turut tenggelam dalam perdebatan, berlakunya kurikulum 2013 tidak perlu dibahas, dari kemarin saya mencoba cari buku induknya, sepertinya tidak banyak berubah sekedar "style"nya guru saja yang sedang diintervensi. Jadi tidak perlu dibahas. Lebih penting bagi saya untuk membahas harapan saya yang ternyata "luput" dari kurikulum 2013 tersebut, kepekaan dan kepedulian sosial, terkait dengan pembangunan etika-estetika untuk mewujudkan masyarakat pancasila.

Hari ini, kita sadari~sebagaimana kabar-kabar yang terselip dengan durasi sedikit mengenai "darurat moral" seperti juga yang dimuat oleh harian Kompas (Sabtu, 9/3/2013) dengan judul "Bangsa Alami Disorientasi" meskipun yang dibahas juga masih bagian terkecilnya, belum pada akar. Langsung saja, melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah peluang bagi berbagai kecurangan dan kejahatan, dengan kondisi dimana kepekaan dan kepedulian sosial yang melemah tentunya sanksi sosial juga turut melemah, jika sanksi sosial melemah jangan harap peraturan-peraturan dan kode etik dapat berfunsi dengan baik, bahkan dapat sama sekali tidak berfungsi.

Sebagaimana kita tidak akan memerlukan lembaga-lembaga semacam Komnas HAM dan KPK jikalau sanksi sosial berlaku, masalahnya adalah kepekaan dan kepedulian sosial saat ini sedang tidak ada dan sanksi sosial adalah bahan tertawaan, jadinya pola pikir dan tingkah laku anarki yang tidak peduli dengan aturan-aturan; tidak peduli ada penyimpangan dalam lingkungannya, bahkan mudah melakukan penyimpangan sebab yakin tidak akan terhalang oleh sanksi sosial apalagi aturan-aturan.

Media massa yang digadang-gadang sebagai pengawas juga baru angkat bicara ketika kondisi sudah serba terlanjur, contohnya saja mengenai kasus penelantaran pasien miskin, media mengangkat hal ini ketika diketahui ada tewasnya penderita penyakit akibat ditolak beberapa rumah sakit. Pemberitaannya sangat gencar. Begitupun dengan kasus-kasus asusila yang kian hari kian merebak, bahkan kini kasus ini juga telah menempatkan anak-anak bukan sebagai korban saja, tapi juga sebagai pelaku. Semua yang sudah serba terlanjurlah yang diangkat media massa sebagai bahan obrolan pengisi waktu senggang.

Belum pernah sekalipun ada liputan dan laporan tentang maraknya "jam kosong" disekolah-sekolah yang sebenarnya berkaitan dengan kode etik guru, ataupun mengenai hal-hal lain yang dapat menjadi pemicu hancurnya sanksi sosial. Maka, dari sini peran masyarakat dan khususnya individu dalam masyarakat adalah penting sebagai pengawas lingkungannya, tentunya dengan membangun kesadaran kolektif yang bukan hasil dari upaya hegemonik (dominasi dari kelompok penindas).

Mungkin (dengan lebih sakarstic) melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah kecenderungan "westernisasi" atau bertingkah kebarat-baratan, awalnya hanya "style"nya yang ditiru, selanjutnya mengikuti pola pikir barat yang liberal, bahkan pola pikir inipun cenderung dimodifikasi dan menjadi "semaunya sendiri". Dalam hal ini diharapkan pengetahuan agama dapat menjadi benteng akhlak, tapi hanya sekedar harapan, agama sendiri ternyata tidak mampu menjadi "rem" bagi masyarakat yang memang cenderung dinamis, ibarat mobil balap, masyarakat meluncur deras menuju kondisi "liberalisme-anarkistis".

Padahal~sebagaimana pandangan Emile Durkheim tentang agama~ "bangsa timur" seperti Indonesia dalam memahami agama tidak seperti orang barat, agama bagi bangsa timur bukan hanya sekedar sistem gagasan, tapi kekuatan terutama sekali kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang yang suci dan kotor, batas antara kotor dan suci ini menimbulkan etika sosial dalam masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Agama dinilai sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.

Tentunya kegagalan ini tidaklah harus dibebankan kepada agama, hal ini adalah kegagalan kita dalam menerjemahkan dan memahami pesan-pesan agama yang sebenarnya cukup tegas dan sederhana tersebut. Akhirnya, peradaban suatu bangsa merupakan bangunan moral. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar