Ada seorang guru ngomong ke muridnya "untuk belajar 'dance' harus belajar tari tradisional dulu", demikian dalam debat kecil pada sebuah kelas. Hal ini saya dapati dari cerita beberapa pelajar yang sedang berkesempatan memasang wajah jengah.
Saya tidak begitu mengerti jalan pikir dari guru yang dimaksud, yang tentunya telah mendapat 'protes diam' dari para muridnya akibat pendapatnya tersebut, bukankah generasi saat ini lebih radikal dalam berpikir? Mungkin demikian jika dibandingkan dengan kepicikkan seorang guru yang menyatakan "untuk belajar dance (dalam hal ini yang dimaksud adalah modern dance) harus belajar tari tradisional dulu", cukup bernuansa doktrinasi kalau saya bilang. Jadi ingat masa ORBA.
Bagaimana mungkin mengangkat kebudayaan sendiri untuk dapat sejajar dengan budaya asing tetapi memperlakukan budaya sendiri sebagai budaya rendah? Kebudayaan sendiri disini diwakili oleh "tari tradisional" dan budaya asing yang beragam kali ini diwakili oleh "modern dance" dalam berbagai bentuk yang pada dasarnya lebih sering datang dari luar kebudayaan sendiri.
Kembali pada perbandingan antara tradisional dan modern, pendeknya belum tentu yang datang dari luar kebudayaan kita adalah lebih modern dari budaya kita, dianggap modern disini malah tradisional di tempat asalnya. Sedangkan kita masih keseringan menganggap yang tradisional adalah hasil budaya yang rendah sebagaimana pola pikir seorang guru diatas.
Alangkah berbahayanya pola pikir seperti itu, terlebih ketika pola pikir sedemikian itu tersalur dalam ucapan seorang guru kepada murid-muridnya, sama halnya mengatakan "kita sebagai bangsa yang tidak beradab, marilah menghamba kepada bangsa lain yang lebih gemerlap" tanpa ada upaya untuk memodernkan hasil budaya sendiri, jadilah kita benar-benar menghamba kepada sesama manusia dari bangsa lain. Untuk lebih jelas dalam masalah perbandingan antara modern dan tradisional, silahkan baca tulisan saya sebelumnya "klik link".
Dan lagi tidaklah mungkin para penyanyi Korea dengan tampilan khas "modern dance" nya itu terlebih dulu belajar tari tradisional dari bangsa Indonesia untuk melakukan performa "modern dance" yang tiba-tiba jadi kiblat budaya bagi kebanyakan muda-mudi di Indonesia. Sungguh, kekacauan sedang terjadi dalam otak anda jika anda berpikir seperti itu. Lebih baik mulai suatu analisa kecil tentang koreografi dan iringan musik untuk memodernkan budaya sendiri, misalnya tari Bali diiring musik rock atau jaipong dengan irama jazz. Jazz dan rock adalah tradisi asing yang mendunia yang sementara sedang dibilang "MODERN" daripada jaipong, atau lain waktu kita bisa pikirkan sama-sama tentang kuda lumping yang disemarakkan dengan riuhnya irama trash metal.
Pramoedya Ananta Toer
Sabtu, 17 Agustus 2013
Kamis, 15 Agustus 2013
Revolusi: Tobat Nasional
Bukan menjadi sebuah rencana ketika saya ditawari untuk ikut berpuasa pada tanggal 17 Agustus 2013 nanti, salah seorang crew GSP adalah seorang warga dari Tarekat Shiddiqiyyah Jombang, ketika berkumpul pas lebaran kemarin dia menyodorkan foto kopian surat edaran dari pondoknya yang berisi ajakan untuk melakukan puasa dan berdzikir pada tanggal 17 nanti. Jadilah pada hari sabtu nanti beberapa crew GSP akan melakukan puasa dan mengadakan semacam majelis dzikir.
Tidak terdapat hal-perihal yang salah atau bahkan buruk dengan dianggap sesat dalam ajakan itu, sebaliknya malah hal seperti inilah yang harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, mensyukuri nikmat kemerdekaan yang serta merta mendoakan keselamatan bangsa dan negara, inilah puncak dari wujud nasionalisme (sementara menurut saya).
Juga masih menurut saya pribadi hal demikian inilah yang harus dilaksanakan oleh bangsa yang besar yang cenderung bingung memilih arah meskipun sudah punya cita-cita, bahkan memunculkan gagasan dalam pikiran saya, yaitu "tobat nasional".
Bukannya sok benar atau bahkan sok suci, tapi kalau mau jujur yang terjadi dalam bangsa ini adalah beragam penyimpangan yang bahkan meninggalkan kemanusiaan. Tobat nasional perlu untuk bangsa ini, terutama sekali oleh pejabatnya, para politikus dan para abdi negaranya.
Tentang Pondok dari Tarekat Shiddiqiyyah yang berada di Ploso-Jombang sebelumnya sempat saya kunjungi bersama beberapa crew GSP ketika memperingati Isra Miraj, terdapat bagian-bagian dari pondok yang membuat saya terkesan lantaran semangat nasionalisme yang tinggi yang ditampilkan dalam bentuk monumen-monumen, waktu itu saya merasa cita-cita saya dalam menemukan Indonesia sudah saya wujudkan ditengah-tengah ribuan warga Tarekat Shiddiqiyyah yang hadir malam itu, namun ketika sudah kembali ke Malang perasaan semacam itu tiba-tiba saja hilang dengan gemerlap liberalisme yang dipertunjukkan disepanjang jalan bersama kehadiran borjuis-borjuis yang senantiasa mencari kesenangan berlebih.
Sekaligus juga waktu itu saya mengingat sejarah "Resolusi Jihad NU" yang pernah saya baca yang intinya membela dan mempertahankan negara adalah wajib hukumnya (saya beranikan diri menulis seperti itu meskipun saya tidak mengerti tentang dalil-dalilnya) dan slogan dari warga NU "untuk menjadi Islam 100% di negeri ini juga harus menjadi nasionalis 100%". Mantab tanpa ditawar lagi.
Tentunya dalam pikiran saya (sementara) saat ini adalah dimana ketika keberadaan suatu negara yang dapat menjamin proses ibadah adalah perlu untuk diperjuangkan-dipertahankan.
Mengenai "tobat nasional" tentu sudah cukup jelas, bagi masyarakat yang cenderung menyimpang dan selalu berharap akan adanya perubahan-perbaikan ini untuk melakukan suatu revolusi, suatu revolusi yang berangkat dari diri sendiri, dari masing-masing individu, merubah diri untuk mengadakan perbaikan hidup yaitu dengan bertobat.
Tidak terdapat hal-perihal yang salah atau bahkan buruk dengan dianggap sesat dalam ajakan itu, sebaliknya malah hal seperti inilah yang harus dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia, mensyukuri nikmat kemerdekaan yang serta merta mendoakan keselamatan bangsa dan negara, inilah puncak dari wujud nasionalisme (sementara menurut saya).
Juga masih menurut saya pribadi hal demikian inilah yang harus dilaksanakan oleh bangsa yang besar yang cenderung bingung memilih arah meskipun sudah punya cita-cita, bahkan memunculkan gagasan dalam pikiran saya, yaitu "tobat nasional".
Bukannya sok benar atau bahkan sok suci, tapi kalau mau jujur yang terjadi dalam bangsa ini adalah beragam penyimpangan yang bahkan meninggalkan kemanusiaan. Tobat nasional perlu untuk bangsa ini, terutama sekali oleh pejabatnya, para politikus dan para abdi negaranya.
Tentang Pondok dari Tarekat Shiddiqiyyah yang berada di Ploso-Jombang sebelumnya sempat saya kunjungi bersama beberapa crew GSP ketika memperingati Isra Miraj, terdapat bagian-bagian dari pondok yang membuat saya terkesan lantaran semangat nasionalisme yang tinggi yang ditampilkan dalam bentuk monumen-monumen, waktu itu saya merasa cita-cita saya dalam menemukan Indonesia sudah saya wujudkan ditengah-tengah ribuan warga Tarekat Shiddiqiyyah yang hadir malam itu, namun ketika sudah kembali ke Malang perasaan semacam itu tiba-tiba saja hilang dengan gemerlap liberalisme yang dipertunjukkan disepanjang jalan bersama kehadiran borjuis-borjuis yang senantiasa mencari kesenangan berlebih.
Sekaligus juga waktu itu saya mengingat sejarah "Resolusi Jihad NU" yang pernah saya baca yang intinya membela dan mempertahankan negara adalah wajib hukumnya (saya beranikan diri menulis seperti itu meskipun saya tidak mengerti tentang dalil-dalilnya) dan slogan dari warga NU "untuk menjadi Islam 100% di negeri ini juga harus menjadi nasionalis 100%". Mantab tanpa ditawar lagi.
Tentunya dalam pikiran saya (sementara) saat ini adalah dimana ketika keberadaan suatu negara yang dapat menjamin proses ibadah adalah perlu untuk diperjuangkan-dipertahankan.
Mengenai "tobat nasional" tentu sudah cukup jelas, bagi masyarakat yang cenderung menyimpang dan selalu berharap akan adanya perubahan-perbaikan ini untuk melakukan suatu revolusi, suatu revolusi yang berangkat dari diri sendiri, dari masing-masing individu, merubah diri untuk mengadakan perbaikan hidup yaitu dengan bertobat.
Selasa, 13 Agustus 2013
Membangun Kebangsaan
Menjadi suatu kerja besar, membangun kebangsaan bagi suatu masyarakat yang tersusun dari beragam latar belakang, suku, agama dan ras. Inilah Indonesia, dalam persatuannya adalah nasionalisme yang tidak sempit, ia harus memberi ruang penuh bagi segenap paham dan keyakinan didalamnya, meskipun memang sudah seharusnya seperti itu nasionalisme/kebangsaan yang ada.
Nasionalisme yang diinginkan bukanlah suatu nasionalisme yang menjadi rintangan bagi paham atau "isme-isme" yang lain, bahkan terhadap agama. Nasionalisme yang dalam bentuk dasarnya adalah kesadaran yang menyempit tentang suatu masyarakat atas suatu paham, keyakinan, suku dan ras tidaklah dapat diterima lagi. Nasionalisme yang hanya menjadi perintang seperti itu sama saja dengan pembatasan terhadap kemanusiaan, dan ketika nasionalisme tidak lagi sesuai dengan kemanusiaan maka akan memunculkan proses tindas-menindas antar manusia.
Sungguh, kita tidak mengiginkan nasionalisme yang sempit yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, apalagi nasionalisme sempit yang mengenyahkan kemanusiaan. Pun tidak pula menjadi suatu harapan ketika nasionalisme yang ada malah mendasarkan diri pada liberalisme~mungkin akan terbaca aneh: nasionalisme-liberalistik, tapi inilah yang sering muncul kepermukaan disamping nasionalisme yang membatasi diri dalam suatu latar belakang- latar belakang masyarakatnya.
Indonesia, Amerika dan Australia adalah contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana suatu nasionalisme dibangun dari beragam latar belakang, tidak berdasarkan agama, suku, dan ras. Tapi tentunya tidak menjadi suatu keinginan untuk menjadikan Indonesia seperti Amerika yang liberalistis. Kita bisa katakan Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman yang membuatnya kaya akan warna.
Lalu bagaimana membangun nasionalisme/kebangsaan di Indonesia yang memiliki keragaman jika tidak seperti Amerika dengan menyandarkan diri dengan liberalisme? Tentu bisa, hal demikian sudah terjawab cukup lama, bahkan sebelum negara diproklamasikan.
Pancasila, inilah bentuk nasionalisme yang ditawarkan, ia bukan suatu "isme" yang kaku, rigid. Pancasila memberi ruang yang cukup untuk segenap paham dan keyakinan dalam masyarakatnya, pun juga tidak memberikan kebebasan mutlak kepada masyarakatnya, kebebasan yang ada masihlah berjalan diatas rel revolusi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, tentu suatu masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, suatu masyarakat yang berperikemanusiaan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jadilah tugas maha berat bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang gemilang, peradaban yang manusiawi sajalah yang dapat kita gunakan.
Bagaimana kesadaran seperti itu dapat diwujudkan? Pertanyaan inilah yang muncul, kita tidak perlu membicarakan wujud nasionalisme jika tidak terlebih dahulu membicarakan kesadarannya, tentu kesadaran berbangsa, kesadaran akan suatu nasionalisme yang berdiri-mewujud dari ladang sejarah suatu masyarakat.
Jauh didalam pancasila tersimpan bentuk nasionalisme yang diharapkan, hal ini sebagaimana pendapat Ir. Soekarno tentang sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme ini tidak sama seperti nasionalisme bangsa-bangsa Eropa, suatu nasionalisme yang tidak hanya mencari "gebyar"nya saja atau suatu nasionalisme yang hanya muncul lantaran sepak bola saja. Tapi suatu nasionalisme yang mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata, nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata atau suatu nasionalisme yang didalamnya mengupayakan perbaikan hidup bagi sesama.
Bung Karno mendefinisikan sosio-nasionalisme ini dengan massa-rakyat yakni nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Pun juga suatu nasionalisme yang menentang pembentukan masyarakat yang berdasarkan kelas sosial, dalam hal ini Bung Karno berpesan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Nasionalisme yang diinginkan bukanlah suatu nasionalisme yang menjadi rintangan bagi paham atau "isme-isme" yang lain, bahkan terhadap agama. Nasionalisme yang dalam bentuk dasarnya adalah kesadaran yang menyempit tentang suatu masyarakat atas suatu paham, keyakinan, suku dan ras tidaklah dapat diterima lagi. Nasionalisme yang hanya menjadi perintang seperti itu sama saja dengan pembatasan terhadap kemanusiaan, dan ketika nasionalisme tidak lagi sesuai dengan kemanusiaan maka akan memunculkan proses tindas-menindas antar manusia.
Sungguh, kita tidak mengiginkan nasionalisme yang sempit yang tidak ramah terhadap kemanusiaan, apalagi nasionalisme sempit yang mengenyahkan kemanusiaan. Pun tidak pula menjadi suatu harapan ketika nasionalisme yang ada malah mendasarkan diri pada liberalisme~mungkin akan terbaca aneh: nasionalisme-liberalistik, tapi inilah yang sering muncul kepermukaan disamping nasionalisme yang membatasi diri dalam suatu latar belakang- latar belakang masyarakatnya.
Indonesia, Amerika dan Australia adalah contoh terbaik untuk menggambarkan bagaimana suatu nasionalisme dibangun dari beragam latar belakang, tidak berdasarkan agama, suku, dan ras. Tapi tentunya tidak menjadi suatu keinginan untuk menjadikan Indonesia seperti Amerika yang liberalistis. Kita bisa katakan Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman yang membuatnya kaya akan warna.
Lalu bagaimana membangun nasionalisme/kebangsaan di Indonesia yang memiliki keragaman jika tidak seperti Amerika dengan menyandarkan diri dengan liberalisme? Tentu bisa, hal demikian sudah terjawab cukup lama, bahkan sebelum negara diproklamasikan.
Pancasila, inilah bentuk nasionalisme yang ditawarkan, ia bukan suatu "isme" yang kaku, rigid. Pancasila memberi ruang yang cukup untuk segenap paham dan keyakinan dalam masyarakatnya, pun juga tidak memberikan kebebasan mutlak kepada masyarakatnya, kebebasan yang ada masihlah berjalan diatas rel revolusi untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, tentu suatu masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, suatu masyarakat yang berperikemanusiaan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial.
Jadilah tugas maha berat bagi suatu bangsa untuk membangun peradaban yang gemilang, peradaban yang manusiawi sajalah yang dapat kita gunakan.
Bagaimana kesadaran seperti itu dapat diwujudkan? Pertanyaan inilah yang muncul, kita tidak perlu membicarakan wujud nasionalisme jika tidak terlebih dahulu membicarakan kesadarannya, tentu kesadaran berbangsa, kesadaran akan suatu nasionalisme yang berdiri-mewujud dari ladang sejarah suatu masyarakat.
Jauh didalam pancasila tersimpan bentuk nasionalisme yang diharapkan, hal ini sebagaimana pendapat Ir. Soekarno tentang sosio-nasionalisme, dimana nasionalisme ini tidak sama seperti nasionalisme bangsa-bangsa Eropa, suatu nasionalisme yang tidak hanya mencari "gebyar"nya saja atau suatu nasionalisme yang hanya muncul lantaran sepak bola saja. Tapi suatu nasionalisme yang mendasarkan diri pada kecintaan terhadap rakyat jelata, nasionalisme yang memperjuangkan nasib rakyat jelata atau suatu nasionalisme yang didalamnya mengupayakan perbaikan hidup bagi sesama.
Bung Karno mendefinisikan sosio-nasionalisme ini dengan massa-rakyat yakni nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Pun juga suatu nasionalisme yang menentang pembentukan masyarakat yang berdasarkan kelas sosial, dalam hal ini Bung Karno berpesan “dalam perjuangan habis-habisan mendatangkan Indonesia Merdeka, kaum Marhaen harus menjaga agar jangan sampai nanti mereka yang kena getahnya, tetapi kaum borjuis atau ningrat yang memakan nangkanya.”
Sabtu, 20 Juli 2013
Secarik kegelisahan
Saya sempatkan merenung ini tadi, ketika sedang khusuk ngopi dipinggir jalan. Tidak terawih, memanglah sudah jadi kebiasaan saya seperti ini. Sebetulnya dalam keadaan semacam ini saya harus menjauhi segala macam jejaring sosial, pikiran labil menebak apapun dari sudut pandang paling pesimis hingga terdengar narasi berulang-ulang "kemenangan bukan lagi milik yang benar, sebab keadilan tercipta oleh kekuasaan".
Istilah kekiniannya "galau", tentu, bagaimana tidak jika kerap kali mendapati penyimpangan yang terang-terangan dibela-diwajarkan. Cemburu? Memang, harus diakui itu. Tidak ada lagi yang dapat saya akui-saya rasai.
Ketimpangan-ketimpangan diharapkan ada-terdapat dan wajar, tentu untuk mempertahankan kemapanan kelas sosial. Kebenaran dan keadilan hanyalah pengganggu kemapanan. Tanpa daya perlawanan, sekedar penyaksian. Astaga.
Bagaimana mungkin kesadaran akan kenyataan sedemikian ini memaksa untuk bertahan dalam ketabahan? Dipaksa tunduk dalam ketertindasan, pengasingan. Sadar, perjuangan berujung pada kesia-siaan. Atau memang sedang "terhasut sepi?" Ini bukan tulisan yang serius, hanya menyempatkan diri mencatat sebentuk keadaan, dimana dan kapan aku kini berada, tentu dengan segenap penyaksian dan umpatan. Menyendiri tanpa pembelaan.
Sekali lagi "kemenangan bukan lagi milik yang benar, sebab keadilan adalah rekayasa kuasa" segala yang diwajarkan hanyalah upaya kekuasaan, penyimpangan dan penindasan jadi wajar hanya karena upaya kekuasaan.
Aku sedang berdiri, memandangi kenyataan yang berlangsung pada sebuah bangunan, institusi, tempat dimana kekacauan kerap disamarkan.
"Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah"
......................................................................................................................................
"Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti" betapa tegas menjawab narasi yang berulang-ulang.
Suro = Keberanian.
Diro = Kekuatan.
Joyo = Kejayaan.
Ningrat = kekayaan, Kemewahan..
Lebur = Hancur, Musnah
Dening = Dengan
Pangastuti = Kebijaksanaan, Kasih Sayang, Kebaikan
Segala sifat picik, licik, kerdil dan keangkara murkaan hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Kembali menundukkan panca indera, menggapai ketenangan hati untuk kembali mencari: Indonesia.
Istilah kekiniannya "galau", tentu, bagaimana tidak jika kerap kali mendapati penyimpangan yang terang-terangan dibela-diwajarkan. Cemburu? Memang, harus diakui itu. Tidak ada lagi yang dapat saya akui-saya rasai.
Ketimpangan-ketimpangan diharapkan ada-terdapat dan wajar, tentu untuk mempertahankan kemapanan kelas sosial. Kebenaran dan keadilan hanyalah pengganggu kemapanan. Tanpa daya perlawanan, sekedar penyaksian. Astaga.
Bagaimana mungkin kesadaran akan kenyataan sedemikian ini memaksa untuk bertahan dalam ketabahan? Dipaksa tunduk dalam ketertindasan, pengasingan. Sadar, perjuangan berujung pada kesia-siaan. Atau memang sedang "terhasut sepi?" Ini bukan tulisan yang serius, hanya menyempatkan diri mencatat sebentuk keadaan, dimana dan kapan aku kini berada, tentu dengan segenap penyaksian dan umpatan. Menyendiri tanpa pembelaan.
Sekali lagi "kemenangan bukan lagi milik yang benar, sebab keadilan adalah rekayasa kuasa" segala yang diwajarkan hanyalah upaya kekuasaan, penyimpangan dan penindasan jadi wajar hanya karena upaya kekuasaan.
Aku sedang berdiri, memandangi kenyataan yang berlangsung pada sebuah bangunan, institusi, tempat dimana kekacauan kerap disamarkan.
"Ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah biha, ya Allah bi-husnil khatimah"
......................................................................................................................................
"Suro diro joyoningrat lebur dening pangastuti" betapa tegas menjawab narasi yang berulang-ulang.
Suro = Keberanian.
Diro = Kekuatan.
Joyo = Kejayaan.
Ningrat = kekayaan, Kemewahan..
Lebur = Hancur, Musnah
Dening = Dengan
Pangastuti = Kebijaksanaan, Kasih Sayang, Kebaikan
Segala sifat picik, licik, kerdil dan keangkara murkaan hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati dan sabar. Kembali menundukkan panca indera, menggapai ketenangan hati untuk kembali mencari: Indonesia.
Sabtu, 29 Juni 2013
Theater/ drama/ sandiwara dari yang pakem hingga kotemporer
Entah bagaimana pendapat orang, tapi dalam pikiran saya hanya terdapat dua cabang dalam seni peran yang seringnya kita sebut theater atau drama, yaitu modern dan tradisional. Sering kali anggapan orang adalah pementasan drama lokal seperti ludruk, ketoprak, kentrung dan lain sebagainya adalah bagian dari theater tradisional meskipun ketika pementasannya menggunakan perlengkapan modern, misalnya dengan menggunakan permainan cahaya atau juga ketika dengan menggunakan layar proyektor sebagai "background effect".
Istilah 'modern' dan 'tradisional'pun saya rasa kurang tepat dalam masalah ini, sebab istilah ini pada dasarnya (secara umum) hanya menunjukkan "apa dan bagaimana yang baru, serta apa dan bagaimana yang lama?" Sebenarnya "Drama lokal" bisa saja disebut modern, toh yang selama ini dikatakan sebagai "Theater modern" yang sebenarnya adalah budaya impor yang di negara asalnya sana adalah bagian dari tradisi alias "tradisional". Tradisi, kebiasaan.
Sedang pementasan theater lokal apakah kini masih menjadi bagian tradisi/kebiasaan dalam masyarakat kita? Iya/tidaknya saya kembalikan kepada sidang pembaca yang budiman.
Ibarat pohon, seni peran adalah pohon yang memiliki banyak cabang, dari dua cabang utama~sebut saja "pakem" dan "kontemporer" nantinya akan tumbuh cabang-cabang yang lain. Demikian dalam pikiran saya, debat saya butuhkan agar saya mengerti letak kesalahan saya.
Sederhana saja, yang saya sebut "kotemporer" itu yang diluar pakem, atau sudah terpengaruh oleh hal-hal kekinian, misalnya saja (andai kata) ada pementasan wayang orang dengan mengangkat lakon "Duryudana mencabut subsidi BBM" ada kemungkinan tokoh-tokoh dalam lakon ini mayoritas masih pakem, tapi istilah-istilah dalam dialognya bisa jadi adalah istilah kekinian. Saya katakan juga "mayoritas tokohnya adalah pakem" dimana ada-terdapat kemungkinan masuknya tokoh-tokoh lain diluar pewayangan, entah itu Superman, Batman, Naruto atau bahkan Jokowi.
Pada intinya, kunci drama adalah gerak~tentunya gerak yang ditonton, dalam bahasa Prancis disebut "drame" artinya "lakon serius" yang melarang adanya unsur humor. Bahkan seorang Aristoteles punya pendapat akan drama "a representation of an action", permainan atau akting atau lakon~lakon asalnya adalah bahasa Jawa "lakon, nglakoni"-laku, melakukan.
Dalam istilah Jawa juga terdapat "sandiwara" toh kurang lebih juga sama bentuknya dengan drama meskipun istilah sandiwara ini adalah rangkaian dari kata "sandi" dan "wara". Sandi berarti rahasia, dan "wara" pemberitahuan. pesan terselubung. Adapun istilah "theater" yang apabila dirunut asal bahasanya adalah dari Yunani, "theater" berarti pertunjukkan drama atau dunia sandiwara yang spektakuler. Dalam masyarakat Indonesia istilah "theater" menjadi sangat luas, karena tidak saja menunjukkan pada suatu pertunjukkan tapi juga pada kelompok-kelompok theater, bahkan sering pula merupakan gedung bioskop.
Kiranya tidak perlu membahas hal-hal yang jauh seperti adanya istilah "klasik", "melankolis", "humor" atau bahkan "realisme sosialis" sebab semua itu adalah isme-paham yang senantiasa dikaitkan dengan keadaan dan pikiran senimannya. Seni tidak mementingkan 'isme-isme', sebab dia memerlukannya, seni adalah untuk seni sekaligus seni untuk rakyat. Kita tidak akan mungkin menyerahkan seni/kesenian dalam kediktaktoran "isme", sebagaimana ketika anak didik saya (Karter, Kartika Teater) terlibat dalam debat dengan seorang rekan yang mengaku seniman-pandai memang tapi tidak memiliki pengertian alias tidak mengerti. Anak didik saya tersebut (dari penjelasannya) mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari rekan yang saya yang sebelumnya sempat melakukan sabotase terhadap performa anak-anak Karter (Kartika Teater), tapi (masih menurut penjelasan dari anak didik saya) setiap jawaban darinya adalah "salah".
Perdebatan itu seputar masalah pementasan operet (istilah baru lagi), menurut rekan saya ini "operet" bukanlah bagian dari theater, tentunya dengan menyertakan hujatan tanpa ampun kepada saya, nah kinilah saya jawab hujatan yang sekaligus ketidak mengertian rekan saya ini.
Operet adalah bentuk sederhana dan bisa juga dikatakan sebagai bentuk "kasar" dari drama musikal, saya kata demikian sebab yang terjadi disini adalah pementasan "lipsing" kuncinya pada gerak dan mimik, diatas sudah saya jelaskan bahwa kunci dari drama adalah gerak. Jadi, apakah operet masih dikatakan diluar teater? Alasan saya untuk hal ini dan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya mementaskan operet adalah karena keterbatasan sarana-prasarana, bahkan inventaris properti dan kostum adalah sangat minim, selain juga karena agenda sekolah yang dapat diikuti oleh Karter tidak memungkinkan Karter menampilkan drama lain selain operet. Jadi, cerdaslah sedikit.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari judul-judul sebelumnya: Yang Pernah Ada, berlanjut dengan Kreatif-inovatif untuk menjadi bangsa yang kuat, Dari musikalisasi puisi dan operet hingga saya menulis Secercah harapan sebelum saya tulis ini... demikian, semoga dapat menjadi penjelasan.
Istilah 'modern' dan 'tradisional'pun saya rasa kurang tepat dalam masalah ini, sebab istilah ini pada dasarnya (secara umum) hanya menunjukkan "apa dan bagaimana yang baru, serta apa dan bagaimana yang lama?" Sebenarnya "Drama lokal" bisa saja disebut modern, toh yang selama ini dikatakan sebagai "Theater modern" yang sebenarnya adalah budaya impor yang di negara asalnya sana adalah bagian dari tradisi alias "tradisional". Tradisi, kebiasaan.
Sedang pementasan theater lokal apakah kini masih menjadi bagian tradisi/kebiasaan dalam masyarakat kita? Iya/tidaknya saya kembalikan kepada sidang pembaca yang budiman.
Ibarat pohon, seni peran adalah pohon yang memiliki banyak cabang, dari dua cabang utama~sebut saja "pakem" dan "kontemporer" nantinya akan tumbuh cabang-cabang yang lain. Demikian dalam pikiran saya, debat saya butuhkan agar saya mengerti letak kesalahan saya.
Sederhana saja, yang saya sebut "kotemporer" itu yang diluar pakem, atau sudah terpengaruh oleh hal-hal kekinian, misalnya saja (andai kata) ada pementasan wayang orang dengan mengangkat lakon "Duryudana mencabut subsidi BBM" ada kemungkinan tokoh-tokoh dalam lakon ini mayoritas masih pakem, tapi istilah-istilah dalam dialognya bisa jadi adalah istilah kekinian. Saya katakan juga "mayoritas tokohnya adalah pakem" dimana ada-terdapat kemungkinan masuknya tokoh-tokoh lain diluar pewayangan, entah itu Superman, Batman, Naruto atau bahkan Jokowi.
Pada intinya, kunci drama adalah gerak~tentunya gerak yang ditonton, dalam bahasa Prancis disebut "drame" artinya "lakon serius" yang melarang adanya unsur humor. Bahkan seorang Aristoteles punya pendapat akan drama "a representation of an action", permainan atau akting atau lakon~lakon asalnya adalah bahasa Jawa "lakon, nglakoni"-laku, melakukan.
Dalam istilah Jawa juga terdapat "sandiwara" toh kurang lebih juga sama bentuknya dengan drama meskipun istilah sandiwara ini adalah rangkaian dari kata "sandi" dan "wara". Sandi berarti rahasia, dan "wara" pemberitahuan. pesan terselubung. Adapun istilah "theater" yang apabila dirunut asal bahasanya adalah dari Yunani, "theater" berarti pertunjukkan drama atau dunia sandiwara yang spektakuler. Dalam masyarakat Indonesia istilah "theater" menjadi sangat luas, karena tidak saja menunjukkan pada suatu pertunjukkan tapi juga pada kelompok-kelompok theater, bahkan sering pula merupakan gedung bioskop.
Kiranya tidak perlu membahas hal-hal yang jauh seperti adanya istilah "klasik", "melankolis", "humor" atau bahkan "realisme sosialis" sebab semua itu adalah isme-paham yang senantiasa dikaitkan dengan keadaan dan pikiran senimannya. Seni tidak mementingkan 'isme-isme', sebab dia memerlukannya, seni adalah untuk seni sekaligus seni untuk rakyat. Kita tidak akan mungkin menyerahkan seni/kesenian dalam kediktaktoran "isme", sebagaimana ketika anak didik saya (Karter, Kartika Teater) terlibat dalam debat dengan seorang rekan yang mengaku seniman-pandai memang tapi tidak memiliki pengertian alias tidak mengerti. Anak didik saya tersebut (dari penjelasannya) mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari rekan yang saya yang sebelumnya sempat melakukan sabotase terhadap performa anak-anak Karter (Kartika Teater), tapi (masih menurut penjelasan dari anak didik saya) setiap jawaban darinya adalah "salah".
Perdebatan itu seputar masalah pementasan operet (istilah baru lagi), menurut rekan saya ini "operet" bukanlah bagian dari theater, tentunya dengan menyertakan hujatan tanpa ampun kepada saya, nah kinilah saya jawab hujatan yang sekaligus ketidak mengertian rekan saya ini.
Operet adalah bentuk sederhana dan bisa juga dikatakan sebagai bentuk "kasar" dari drama musikal, saya kata demikian sebab yang terjadi disini adalah pementasan "lipsing" kuncinya pada gerak dan mimik, diatas sudah saya jelaskan bahwa kunci dari drama adalah gerak. Jadi, apakah operet masih dikatakan diluar teater? Alasan saya untuk hal ini dan kenapa Karter (Kartika Teater) seringnya mementaskan operet adalah karena keterbatasan sarana-prasarana, bahkan inventaris properti dan kostum adalah sangat minim, selain juga karena agenda sekolah yang dapat diikuti oleh Karter tidak memungkinkan Karter menampilkan drama lain selain operet. Jadi, cerdaslah sedikit.
Tulisan ini merupakan kelanjutan dari judul-judul sebelumnya: Yang Pernah Ada, berlanjut dengan Kreatif-inovatif untuk menjadi bangsa yang kuat, Dari musikalisasi puisi dan operet hingga saya menulis Secercah harapan sebelum saya tulis ini... demikian, semoga dapat menjadi penjelasan.
Jumat, 28 Juni 2013
Secercah harapan
Karter, tidak henti-hentinya saya mengagumi kelompok ini, kelompok theater SMP binaan saya. Kartika Theater, bukan karena saya punya posisi sebagai pembina maka saya kagum sembari membangga-banggakan keberadaan mereka. Bukan. Malah saya sempat berencana membubarkan kelompok ini dulu, dan semangat merekalah yang menggagalkan niatan saya itu. Kini, inilah saluran dimana saya dapat dengan leluasa menularkan idealisme.
Tentunya juga karena peristiwa penggagalan niat saya itulah kekaguman saya muncul, bagaimana tidak? Semangat dan keceriaan malah mereka tampilkan-tunjukkan ketika intimidasi mengancam hari-hari mereka nantinya, pun ketika sabotase dan cibiran sedang deras menghujam kearah mereka. Sebenarnya saat itu pula saya sudah memprediksi segala hal yang akan menimpa mereka nantinya, dan terbukti: intimidasi!. Tidak akan terjadi sekali-duakali nantinya, berkali-kali bahkan mungkin.
Sekaligus saya yakin, pasti, tidak akan ada-terdapat kesempatan bagi mereka untuk membela diri, bahkan sekedar untuk melakukan "klarifikasi-klarifikasi".
Dan tentunya saya yakini kini, sejarah mempertemukan kami, hingga muncul narasi-narasi yang terangkai dalam sajak:
sejarah mempertemukan kita
kau bersama cita-citamu
aku bersama cita-citaku
kita dalam idealisme
dan mengibarkannya
dengan cara masing-masing
ingat!
Sejarah telah mempertemukan kita
dan sejarah hanya menulis
kisah orang-orang besar
maka
jadilah orang yang berjiwa besar
merdeka!
Semoga saja, merekalah Indonesia yang sedang saya cari, semoga
Tentunya juga karena peristiwa penggagalan niat saya itulah kekaguman saya muncul, bagaimana tidak? Semangat dan keceriaan malah mereka tampilkan-tunjukkan ketika intimidasi mengancam hari-hari mereka nantinya, pun ketika sabotase dan cibiran sedang deras menghujam kearah mereka. Sebenarnya saat itu pula saya sudah memprediksi segala hal yang akan menimpa mereka nantinya, dan terbukti: intimidasi!. Tidak akan terjadi sekali-duakali nantinya, berkali-kali bahkan mungkin.
Sekaligus saya yakin, pasti, tidak akan ada-terdapat kesempatan bagi mereka untuk membela diri, bahkan sekedar untuk melakukan "klarifikasi-klarifikasi".
Dan tentunya saya yakini kini, sejarah mempertemukan kami, hingga muncul narasi-narasi yang terangkai dalam sajak:
sejarah mempertemukan kita
kau bersama cita-citamu
aku bersama cita-citaku
kita dalam idealisme
dan mengibarkannya
dengan cara masing-masing
ingat!
Sejarah telah mempertemukan kita
dan sejarah hanya menulis
kisah orang-orang besar
maka
jadilah orang yang berjiwa besar
merdeka!
Semoga saja, merekalah Indonesia yang sedang saya cari, semoga
Minggu, 05 Mei 2013
Kreatif-inovatif untuk menjadi bangsa yang kuat
Tentunya masih ingat, ketika kita (bangsa Indonesia) mencak-mencak lantaran Reog tiba-tiba diakui oleh Malaysia sebagai hasil kebudayaannya, begitupun dengan batik, keris dan beberapa tarian daerah lainnya. Sontak sorai tiba-tiba sentimen "anti Malaysia" bergema dalam tajuk utama "ganyang Malaysia", bangkitlah nasionalisme kita.
Tapi ketika sumber air dan pertanian mulai terkotak-kotak dalam "korporasi" serta praktek monopoli mulai menampakkan wajah garang nan rakusnya, seketika pula nasionalisme menemukan perannya, sekedar sebagai kebanggaan kosong, melompong. Bengong.
Jum'at, 3 Mei 2013, selepas latihan theater, saya nongkrong di aula sekolah sampai malam. Bersama beberapa alumni Karter yang kini tergabung sebagai Creew GSP, seorang mahasiswa ISI jurusan Theater dan Pak Kebun Sekolah, awalnya membicarakan masalah tentang perilaku oknum kekanak-kanakkan terhadap anggota Karter yang kini masih duduk di kelas VII dan VIII~meskipun perilaku tidak terhormat itu seringnya menimpa saya sebagai pembina Karter, dari bentuk sabotase,diskriminasi, intimidasi hingga tekanan-tekanan mental (disini kekerasan terjadi lewat kata-kata) terjadi dan menimpa anggota yang terhitung masih dalam usia anak-anak.
Berlanjut kepada perseteruan Indonesia-Malaysia tentang hak paten produk budaya, kembali pada masalah reog dan tari pendet. Sebagaimana pendapat umum, pandangan-pandangan yang muncul waktu itu mengarah pada rasa nasionalisme yang hanya "gebyar"nya saja, dengan begitu yang tampak dipermukaan bukanlah gambaran suatu bangsa yang kreatif, tapi malah mengesankan bangsa yang reaktif dan pemarah.
Saya kemudian mengedepankan contoh musik "punk" yang bukan dari tanah air atau genre musik yang lain yang bukan berasal dari tanah air. Punk muasalnya dari Inggris, ia muncul dari suatu budaya tandingan bikinan anak-anak buruh, sudah pasti juga merekam aktivitas dan harapan mereka, kemudian punk mulai diterima oleh kebanyakan pemuda-pemuda diberbagai bangsa di dunia, sempat pula mendapat sumbangan dari pemuda Amerika berupa "culture" jalanan.
Punk juga diterima dengan tangan terbuka oleh pemuda Indonesia, suatu tradisi baru untuk menyalurkan hasrat perlawanan terhadap kebudayaan yang mapan (dan lebih dari itu) yang tidak saja hanya sekedar tradisi bermusik tapi juga mengenai fashion dan gaya hidupnya, ia diterima dan dimiliki oleh pemuda-pemuda yang menjelmakan dirinya dalam culture punk dengan segenap pandangan hidupnya. Pemuda Inggris, sama sekali tidak menuntut hak paten atas hal ini.
Sebagaimana sapu, seluruh bangsa di muka bumi ini memiliki dan memanfaatkannya tanpa pernah mengerti asal muasal sapu dan tidak terdapat satupun bangsa yang meng"klaim" hak paten atas sapu. Baik sapu maupun punk telah menyumbangkan sebentuk gagasan yang telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia. Punk dalam kehadirannya merupakan ruang gerak yang banyak menyediakan pengaruh dari percampuran isme-isme yang bisa saja dipilih secara serampangan, yang pasti sangat liberal.
Musik rock, Rnb, hip-hop dan apapun merupakan hasil budaya yang datang dan tiba-tiba dinikmati dan dimiliki secara bersama, dan disadari atau tidak juga menyusupkan beragam ide/gagasan pola pikir dan gaya hidup yang memberi arus baru diluar arus utama, yang pada dasarnya adalah pembentukkan gagasan menuju universalisme dengan dasar liberalisme~meskipun bagi saya kesannya malah penyeragaman, yaitu "bebas-bebasan".
Saya berpikir (sebenarnya: berandai-andai) jika ingin Indonesia mendunia tentunya hasil kebudayaannyalah yang harus terlebih dahulu dikedepankan/ditawarkan dan disumbangkan kepada masyarakat dunia tanpa ada rasa takut kehilangan karena di"klaim" oleh bangsa lain, dengan kata lain jika memang Indonesia adalah bangsa yang kreatif maka biarlah hasil budaya yang ada dimiliki oleh masyarakat dunia sebagai bentuk sumbangan dan terus berupaya menciptakan hasil-hasil kebudayaan yang baru untuk kembali disumbangkan kepada masyarakat dunia.
Dengan sumbangan-sumbangan yang berbentuk hasil budaya itulah juga nantinya pola pikir, gagasan/ide atau bahkan "isme" dapat didiskusikan dan diterima oleh masyarakat dunia. Pancasila, sumbangkan kepada masyarakat dunia agar kita bisa bertarung-bersaing: mana yang lebih baik antara pancasila atau demokrasi Amerika.
Sedikit yang terekam dalam ingatan saya waktu itu ketika Pak Man, tukang kebun sekolah berkata "kita bisa lihat, orang yang tidak kreatif bawa'annya takut, maka nantinya orang seperti itu hanya akan menutupi ketidak kreatifannya dengan menjelek-jelekkan temannya yang lain", ya lebih baik terus berusaha memperbaiki diri daripada hanya sekedar terus-terusan mengklarifikasi, salam.
Tapi ketika sumber air dan pertanian mulai terkotak-kotak dalam "korporasi" serta praktek monopoli mulai menampakkan wajah garang nan rakusnya, seketika pula nasionalisme menemukan perannya, sekedar sebagai kebanggaan kosong, melompong. Bengong.
Jum'at, 3 Mei 2013, selepas latihan theater, saya nongkrong di aula sekolah sampai malam. Bersama beberapa alumni Karter yang kini tergabung sebagai Creew GSP, seorang mahasiswa ISI jurusan Theater dan Pak Kebun Sekolah, awalnya membicarakan masalah tentang perilaku oknum kekanak-kanakkan terhadap anggota Karter yang kini masih duduk di kelas VII dan VIII~meskipun perilaku tidak terhormat itu seringnya menimpa saya sebagai pembina Karter, dari bentuk sabotase,diskriminasi, intimidasi hingga tekanan-tekanan mental (disini kekerasan terjadi lewat kata-kata) terjadi dan menimpa anggota yang terhitung masih dalam usia anak-anak.
Berlanjut kepada perseteruan Indonesia-Malaysia tentang hak paten produk budaya, kembali pada masalah reog dan tari pendet. Sebagaimana pendapat umum, pandangan-pandangan yang muncul waktu itu mengarah pada rasa nasionalisme yang hanya "gebyar"nya saja, dengan begitu yang tampak dipermukaan bukanlah gambaran suatu bangsa yang kreatif, tapi malah mengesankan bangsa yang reaktif dan pemarah.
Saya kemudian mengedepankan contoh musik "punk" yang bukan dari tanah air atau genre musik yang lain yang bukan berasal dari tanah air. Punk muasalnya dari Inggris, ia muncul dari suatu budaya tandingan bikinan anak-anak buruh, sudah pasti juga merekam aktivitas dan harapan mereka, kemudian punk mulai diterima oleh kebanyakan pemuda-pemuda diberbagai bangsa di dunia, sempat pula mendapat sumbangan dari pemuda Amerika berupa "culture" jalanan.
Punk juga diterima dengan tangan terbuka oleh pemuda Indonesia, suatu tradisi baru untuk menyalurkan hasrat perlawanan terhadap kebudayaan yang mapan (dan lebih dari itu) yang tidak saja hanya sekedar tradisi bermusik tapi juga mengenai fashion dan gaya hidupnya, ia diterima dan dimiliki oleh pemuda-pemuda yang menjelmakan dirinya dalam culture punk dengan segenap pandangan hidupnya. Pemuda Inggris, sama sekali tidak menuntut hak paten atas hal ini.
Sebagaimana sapu, seluruh bangsa di muka bumi ini memiliki dan memanfaatkannya tanpa pernah mengerti asal muasal sapu dan tidak terdapat satupun bangsa yang meng"klaim" hak paten atas sapu. Baik sapu maupun punk telah menyumbangkan sebentuk gagasan yang telah merubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia. Punk dalam kehadirannya merupakan ruang gerak yang banyak menyediakan pengaruh dari percampuran isme-isme yang bisa saja dipilih secara serampangan, yang pasti sangat liberal.
Musik rock, Rnb, hip-hop dan apapun merupakan hasil budaya yang datang dan tiba-tiba dinikmati dan dimiliki secara bersama, dan disadari atau tidak juga menyusupkan beragam ide/gagasan pola pikir dan gaya hidup yang memberi arus baru diluar arus utama, yang pada dasarnya adalah pembentukkan gagasan menuju universalisme dengan dasar liberalisme~meskipun bagi saya kesannya malah penyeragaman, yaitu "bebas-bebasan".
Saya berpikir (sebenarnya: berandai-andai) jika ingin Indonesia mendunia tentunya hasil kebudayaannyalah yang harus terlebih dahulu dikedepankan/ditawarkan dan disumbangkan kepada masyarakat dunia tanpa ada rasa takut kehilangan karena di"klaim" oleh bangsa lain, dengan kata lain jika memang Indonesia adalah bangsa yang kreatif maka biarlah hasil budaya yang ada dimiliki oleh masyarakat dunia sebagai bentuk sumbangan dan terus berupaya menciptakan hasil-hasil kebudayaan yang baru untuk kembali disumbangkan kepada masyarakat dunia.
Dengan sumbangan-sumbangan yang berbentuk hasil budaya itulah juga nantinya pola pikir, gagasan/ide atau bahkan "isme" dapat didiskusikan dan diterima oleh masyarakat dunia. Pancasila, sumbangkan kepada masyarakat dunia agar kita bisa bertarung-bersaing: mana yang lebih baik antara pancasila atau demokrasi Amerika.
Sedikit yang terekam dalam ingatan saya waktu itu ketika Pak Man, tukang kebun sekolah berkata "kita bisa lihat, orang yang tidak kreatif bawa'annya takut, maka nantinya orang seperti itu hanya akan menutupi ketidak kreatifannya dengan menjelek-jelekkan temannya yang lain", ya lebih baik terus berusaha memperbaiki diri daripada hanya sekedar terus-terusan mengklarifikasi, salam.
Minggu, 31 Maret 2013
Dari RUU KUHAP ke perdebatan moral
Akhirnya bisa juga membuka dasbor blogger setelah beberapa minggu tidak dapat sinyal secara memadai, rencana untuk mencapai target sehari satu judul sudah tidak dapat dilanjutkan lagi. Tidak mengapa, terus saja menulis.
Masih ingat betul jalannya perdebatan di ILC mengenai RUU KUHAP, disana diatur juga mengenai penyadapan, zina dan santet. Tentang penyadapan sebenarnya itu penting dan sudah seharusnya jadi kewenangan tiap-tiap lembaga pemerintahan, terlepas dari setuju atau tidaknya. Lalu mengenai santet, kalau tidak salah yang diatur adalah permasalahan penawaran jasa dan barang mistik, tapi bukankah ini nantinya akan memunculkan permasalahan yang baru, yaitu fitnah.
Yang saya ingat betul adalah pendapatnya Ayu Azhari dalam acara tersebut, selain karena gerik-tingkahnya ketika didepan kamera yang selalu bikin saya terpesona, dari pendapatnya saya menemukan muasal keruwetan nilai moral, pendapatnya ini menggambarkan pola berpikir masyarakat Indonesia kekinian. Seingat saya Ayu Azhari mengatakan bahwa "hukum undang-undang harusnya berbeda dengan hukum moral" kurang lebihnya seperti itu, dan sampai hari ini saya belum menemukan pengertian dari "hukum moral" yang dimaksud.
Bagi saya segala peraturan perundang-undangan yang ada adalah aktualisasi dari nilai moral yang disepakati, maksud dari "telah disepakati" ini adalah nilai moral yang telah dinyatakan perlu untuk diberlakukan secara umum yaitu nilai-nilai yang merupakan bentuk penyempurnaan dari nilai-nilai sebelumnya untuk mencapai kesempurnaan yaitu kemanusiaan.
Membangun moralitas bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara instan, seperti mengikuti kursus atau semacamnya, mungkin bisa tapi hanya sebatas pada sopan atau tidak, atau pantas dan tidak pantas.
Misalnya ketika mengikuti kursus bahasa/berbahasa, tentunya tidak sekedar belajar penerjemahan dan pemahaman semata, tapi ada kemungkinan juga mempelajari estetika dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat pemilik bahasa yang sedang dipelajari.
Jangan bercakap-cakap terlalu lama dengan orang Jepang atau orang Amerika karena percuma, sebaliknya jangan terlalu singkat bercakap-cakap dengan orang Arab karena bisa dianggap tidak sopan. Kesopanan berbeda tapi tidak dengan moral, sebab moral memiliki dasar kemanusiaan. Kemanusiaan akan sama dimanapun dan kapanpun.
Permasalahan moral dibangun selama berabad-abad dan mengalami kehancuran berkali-kali, dengan kata lain selama ini manusia mencari kemanusiaannya yang sepertinya selalu masih kurang, meskipun sebenarnya yang kurang itu bukanlah kemanusiaannya tapi kenyamanan orang terhadap kemanusiaan. Sebagaimana pandangan Hobbes lewat "state of nature" dimana manusia (secara individual) pada dasarnya punya sifat egois, negara ada untuk membatasi egoisme itu yaitu dengan memberi batasan hak, tapi karena manusia pada dasarnya tamak dan cenderung menyukai kebebasan daripada keterkekangan maka sepanjang sejarahnya ia akan selalu mencoba mencari peluang bagi kebebasannya, dari sinilah moral yang memiliki dasar kemanusiaan tersebut selalu dibangun dan selalu menemui kehancurannya.
Termasuk dalam hal RUU KUHAP ini, orang sepertinya tidak nyaman dengan kemanusiaannya hingga harus menemui perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Apakah zinah seperti "kumpul kebo" dapat diterima sebagian masyarakat dan sebagian tidak? Apakah nikah siri yang pada awal kemunculannya untuk mencegah perzinahan dan dalam perkembangannya malah jadi sarana kebebasan menyimpang ini menjadi tanggung jawab negara atau hanya "stop" sebagai wacana dalam masyarakat? Kita akan selalu membicarakan moral untuk mewujudkan universalisme moral, penyempurnaan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengambil yang bermanfaat, mempertahankan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Saya sangat menyayangkan dalam RUU KUHAP ini tidak menyertakan sanksi bagi pengacara yang tidak mau menangani kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu, sebab masyarakat mampu ataupun tidak mampu adalah manusia juga.
Masih ingat betul jalannya perdebatan di ILC mengenai RUU KUHAP, disana diatur juga mengenai penyadapan, zina dan santet. Tentang penyadapan sebenarnya itu penting dan sudah seharusnya jadi kewenangan tiap-tiap lembaga pemerintahan, terlepas dari setuju atau tidaknya. Lalu mengenai santet, kalau tidak salah yang diatur adalah permasalahan penawaran jasa dan barang mistik, tapi bukankah ini nantinya akan memunculkan permasalahan yang baru, yaitu fitnah.
Yang saya ingat betul adalah pendapatnya Ayu Azhari dalam acara tersebut, selain karena gerik-tingkahnya ketika didepan kamera yang selalu bikin saya terpesona, dari pendapatnya saya menemukan muasal keruwetan nilai moral, pendapatnya ini menggambarkan pola berpikir masyarakat Indonesia kekinian. Seingat saya Ayu Azhari mengatakan bahwa "hukum undang-undang harusnya berbeda dengan hukum moral" kurang lebihnya seperti itu, dan sampai hari ini saya belum menemukan pengertian dari "hukum moral" yang dimaksud.
Bagi saya segala peraturan perundang-undangan yang ada adalah aktualisasi dari nilai moral yang disepakati, maksud dari "telah disepakati" ini adalah nilai moral yang telah dinyatakan perlu untuk diberlakukan secara umum yaitu nilai-nilai yang merupakan bentuk penyempurnaan dari nilai-nilai sebelumnya untuk mencapai kesempurnaan yaitu kemanusiaan.
Membangun moralitas bukanlah suatu hal yang dapat dilakukan secara instan, seperti mengikuti kursus atau semacamnya, mungkin bisa tapi hanya sebatas pada sopan atau tidak, atau pantas dan tidak pantas.
Misalnya ketika mengikuti kursus bahasa/berbahasa, tentunya tidak sekedar belajar penerjemahan dan pemahaman semata, tapi ada kemungkinan juga mempelajari estetika dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat pemilik bahasa yang sedang dipelajari.
Jangan bercakap-cakap terlalu lama dengan orang Jepang atau orang Amerika karena percuma, sebaliknya jangan terlalu singkat bercakap-cakap dengan orang Arab karena bisa dianggap tidak sopan. Kesopanan berbeda tapi tidak dengan moral, sebab moral memiliki dasar kemanusiaan. Kemanusiaan akan sama dimanapun dan kapanpun.
Permasalahan moral dibangun selama berabad-abad dan mengalami kehancuran berkali-kali, dengan kata lain selama ini manusia mencari kemanusiaannya yang sepertinya selalu masih kurang, meskipun sebenarnya yang kurang itu bukanlah kemanusiaannya tapi kenyamanan orang terhadap kemanusiaan. Sebagaimana pandangan Hobbes lewat "state of nature" dimana manusia (secara individual) pada dasarnya punya sifat egois, negara ada untuk membatasi egoisme itu yaitu dengan memberi batasan hak, tapi karena manusia pada dasarnya tamak dan cenderung menyukai kebebasan daripada keterkekangan maka sepanjang sejarahnya ia akan selalu mencoba mencari peluang bagi kebebasannya, dari sinilah moral yang memiliki dasar kemanusiaan tersebut selalu dibangun dan selalu menemui kehancurannya.
Termasuk dalam hal RUU KUHAP ini, orang sepertinya tidak nyaman dengan kemanusiaannya hingga harus menemui perdebatan yang tidak ada ujung pangkalnya. Apakah zinah seperti "kumpul kebo" dapat diterima sebagian masyarakat dan sebagian tidak? Apakah nikah siri yang pada awal kemunculannya untuk mencegah perzinahan dan dalam perkembangannya malah jadi sarana kebebasan menyimpang ini menjadi tanggung jawab negara atau hanya "stop" sebagai wacana dalam masyarakat? Kita akan selalu membicarakan moral untuk mewujudkan universalisme moral, penyempurnaan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, mengambil yang bermanfaat, mempertahankan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Saya sangat menyayangkan dalam RUU KUHAP ini tidak menyertakan sanksi bagi pengacara yang tidak mau menangani kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak mampu, sebab masyarakat mampu ataupun tidak mampu adalah manusia juga.
Senin, 11 Maret 2013
Membangun etika-estetika untuk bangsa yang beradab
Saya tidak begitu mengerti, sebagaimana kebanyakan orang yang tidak akan mengerti ketika mendapati realita Indonesia, mungkin karena alasan inilah kurikulum pendidikan Indonesia mengalami revolusi, berubah dalam waktu yang singkat, kini masyarakat pendidikan sedang bersiap-siap menggerakkan kurikulum baru yang populer dengan istilah kurikulum 2013.
Tanpa perlu turut tenggelam dalam perdebatan, berlakunya kurikulum 2013 tidak perlu dibahas, dari kemarin saya mencoba cari buku induknya, sepertinya tidak banyak berubah sekedar "style"nya guru saja yang sedang diintervensi. Jadi tidak perlu dibahas. Lebih penting bagi saya untuk membahas harapan saya yang ternyata "luput" dari kurikulum 2013 tersebut, kepekaan dan kepedulian sosial, terkait dengan pembangunan etika-estetika untuk mewujudkan masyarakat pancasila.
Hari ini, kita sadari~sebagaimana kabar-kabar yang terselip dengan durasi sedikit mengenai "darurat moral" seperti juga yang dimuat oleh harian Kompas (Sabtu, 9/3/2013) dengan judul "Bangsa Alami Disorientasi" meskipun yang dibahas juga masih bagian terkecilnya, belum pada akar. Langsung saja, melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah peluang bagi berbagai kecurangan dan kejahatan, dengan kondisi dimana kepekaan dan kepedulian sosial yang melemah tentunya sanksi sosial juga turut melemah, jika sanksi sosial melemah jangan harap peraturan-peraturan dan kode etik dapat berfunsi dengan baik, bahkan dapat sama sekali tidak berfungsi.
Sebagaimana kita tidak akan memerlukan lembaga-lembaga semacam Komnas HAM dan KPK jikalau sanksi sosial berlaku, masalahnya adalah kepekaan dan kepedulian sosial saat ini sedang tidak ada dan sanksi sosial adalah bahan tertawaan, jadinya pola pikir dan tingkah laku anarki yang tidak peduli dengan aturan-aturan; tidak peduli ada penyimpangan dalam lingkungannya, bahkan mudah melakukan penyimpangan sebab yakin tidak akan terhalang oleh sanksi sosial apalagi aturan-aturan.
Media massa yang digadang-gadang sebagai pengawas juga baru angkat bicara ketika kondisi sudah serba terlanjur, contohnya saja mengenai kasus penelantaran pasien miskin, media mengangkat hal ini ketika diketahui ada tewasnya penderita penyakit akibat ditolak beberapa rumah sakit. Pemberitaannya sangat gencar. Begitupun dengan kasus-kasus asusila yang kian hari kian merebak, bahkan kini kasus ini juga telah menempatkan anak-anak bukan sebagai korban saja, tapi juga sebagai pelaku. Semua yang sudah serba terlanjurlah yang diangkat media massa sebagai bahan obrolan pengisi waktu senggang.
Belum pernah sekalipun ada liputan dan laporan tentang maraknya "jam kosong" disekolah-sekolah yang sebenarnya berkaitan dengan kode etik guru, ataupun mengenai hal-hal lain yang dapat menjadi pemicu hancurnya sanksi sosial. Maka, dari sini peran masyarakat dan khususnya individu dalam masyarakat adalah penting sebagai pengawas lingkungannya, tentunya dengan membangun kesadaran kolektif yang bukan hasil dari upaya hegemonik (dominasi dari kelompok penindas).
Mungkin (dengan lebih sakarstic) melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah kecenderungan "westernisasi" atau bertingkah kebarat-baratan, awalnya hanya "style"nya yang ditiru, selanjutnya mengikuti pola pikir barat yang liberal, bahkan pola pikir inipun cenderung dimodifikasi dan menjadi "semaunya sendiri". Dalam hal ini diharapkan pengetahuan agama dapat menjadi benteng akhlak, tapi hanya sekedar harapan, agama sendiri ternyata tidak mampu menjadi "rem" bagi masyarakat yang memang cenderung dinamis, ibarat mobil balap, masyarakat meluncur deras menuju kondisi "liberalisme-anarkistis".
Padahal~sebagaimana pandangan Emile Durkheim tentang agama~ "bangsa timur" seperti Indonesia dalam memahami agama tidak seperti orang barat, agama bagi bangsa timur bukan hanya sekedar sistem gagasan, tapi kekuatan terutama sekali kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang yang suci dan kotor, batas antara kotor dan suci ini menimbulkan etika sosial dalam masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Agama dinilai sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.
Tentunya kegagalan ini tidaklah harus dibebankan kepada agama, hal ini adalah kegagalan kita dalam menerjemahkan dan memahami pesan-pesan agama yang sebenarnya cukup tegas dan sederhana tersebut. Akhirnya, peradaban suatu bangsa merupakan bangunan moral. Salam.
Tanpa perlu turut tenggelam dalam perdebatan, berlakunya kurikulum 2013 tidak perlu dibahas, dari kemarin saya mencoba cari buku induknya, sepertinya tidak banyak berubah sekedar "style"nya guru saja yang sedang diintervensi. Jadi tidak perlu dibahas. Lebih penting bagi saya untuk membahas harapan saya yang ternyata "luput" dari kurikulum 2013 tersebut, kepekaan dan kepedulian sosial, terkait dengan pembangunan etika-estetika untuk mewujudkan masyarakat pancasila.
Hari ini, kita sadari~sebagaimana kabar-kabar yang terselip dengan durasi sedikit mengenai "darurat moral" seperti juga yang dimuat oleh harian Kompas (Sabtu, 9/3/2013) dengan judul "Bangsa Alami Disorientasi" meskipun yang dibahas juga masih bagian terkecilnya, belum pada akar. Langsung saja, melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah peluang bagi berbagai kecurangan dan kejahatan, dengan kondisi dimana kepekaan dan kepedulian sosial yang melemah tentunya sanksi sosial juga turut melemah, jika sanksi sosial melemah jangan harap peraturan-peraturan dan kode etik dapat berfunsi dengan baik, bahkan dapat sama sekali tidak berfungsi.
Sebagaimana kita tidak akan memerlukan lembaga-lembaga semacam Komnas HAM dan KPK jikalau sanksi sosial berlaku, masalahnya adalah kepekaan dan kepedulian sosial saat ini sedang tidak ada dan sanksi sosial adalah bahan tertawaan, jadinya pola pikir dan tingkah laku anarki yang tidak peduli dengan aturan-aturan; tidak peduli ada penyimpangan dalam lingkungannya, bahkan mudah melakukan penyimpangan sebab yakin tidak akan terhalang oleh sanksi sosial apalagi aturan-aturan.
Media massa yang digadang-gadang sebagai pengawas juga baru angkat bicara ketika kondisi sudah serba terlanjur, contohnya saja mengenai kasus penelantaran pasien miskin, media mengangkat hal ini ketika diketahui ada tewasnya penderita penyakit akibat ditolak beberapa rumah sakit. Pemberitaannya sangat gencar. Begitupun dengan kasus-kasus asusila yang kian hari kian merebak, bahkan kini kasus ini juga telah menempatkan anak-anak bukan sebagai korban saja, tapi juga sebagai pelaku. Semua yang sudah serba terlanjurlah yang diangkat media massa sebagai bahan obrolan pengisi waktu senggang.
Belum pernah sekalipun ada liputan dan laporan tentang maraknya "jam kosong" disekolah-sekolah yang sebenarnya berkaitan dengan kode etik guru, ataupun mengenai hal-hal lain yang dapat menjadi pemicu hancurnya sanksi sosial. Maka, dari sini peran masyarakat dan khususnya individu dalam masyarakat adalah penting sebagai pengawas lingkungannya, tentunya dengan membangun kesadaran kolektif yang bukan hasil dari upaya hegemonik (dominasi dari kelompok penindas).
Mungkin (dengan lebih sakarstic) melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial adalah kecenderungan "westernisasi" atau bertingkah kebarat-baratan, awalnya hanya "style"nya yang ditiru, selanjutnya mengikuti pola pikir barat yang liberal, bahkan pola pikir inipun cenderung dimodifikasi dan menjadi "semaunya sendiri". Dalam hal ini diharapkan pengetahuan agama dapat menjadi benteng akhlak, tapi hanya sekedar harapan, agama sendiri ternyata tidak mampu menjadi "rem" bagi masyarakat yang memang cenderung dinamis, ibarat mobil balap, masyarakat meluncur deras menuju kondisi "liberalisme-anarkistis".
Padahal~sebagaimana pandangan Emile Durkheim tentang agama~ "bangsa timur" seperti Indonesia dalam memahami agama tidak seperti orang barat, agama bagi bangsa timur bukan hanya sekedar sistem gagasan, tapi kekuatan terutama sekali kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang yang suci dan kotor, batas antara kotor dan suci ini menimbulkan etika sosial dalam masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Agama dinilai sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.
Tentunya kegagalan ini tidaklah harus dibebankan kepada agama, hal ini adalah kegagalan kita dalam menerjemahkan dan memahami pesan-pesan agama yang sebenarnya cukup tegas dan sederhana tersebut. Akhirnya, peradaban suatu bangsa merupakan bangunan moral. Salam.
Jumat, 08 Maret 2013
Marah ketika disebut bangsa bar-bar, maka perbaiki pola pikir dan tingkah lakumu
Sinyal modem akhir-akhir ini kacau, sulit untuk sekedar membuka blog jandinya kemarin hanya menyimak pertengkaran dua suporter satu Provinsi, Aremania VS Bonek, padahal yang sedang bertanding adalah Arema VS Gresik Utd. dikandang Gresik dengan kemenangan 1-2 untuk Arema.
Banyak versi tentang kejadian ini, dan yang pasti dalam setiap perdebatan adalah menyalahkan satu sama lain. Ada yang bilang dalam perjalanan menuju Gresik Aremania sudah diserang oleh kelompok Bonek, ada juga yang bilang dalam perjalanan Aremania melakukan perusakan dan versi ini muncul dari media massa yang sepertinya mengupayakan terbentuknya arus utama pola pikir masyarakat. Ada juga yang mengatakan bahwa ada seorang penonton yang hanya karena menggunakan baju Bonek dikroyok hingga tewas oleh Aremania saat pertandingan Arema VS GU, lalu juga dengan hal yang serupa yang katanya terjadi di Stadion Gajayana sewaktu pertandingan antara Persema VS Persebaya (sehari sebelum Arema VS GU).
Saya jadi ingat beberapa kejadian sekitaran tahun 2001 di Sidoarjo, Stadion Gelora Delta Sidoarjo, waktu itu Aremania hadir dan mendominasi tribun penonton, mereka datang dengan kendaraan bermotor, belum lama pertandingan berlangsung dari luar stadion datang batu sebesar kepalan tangan, beberapa orang yang ada diatas kemudian teriak memberitahukan bahwa kendaraan-kendaraan yang sedang diparkir diluar dihancurkan oleh Bonek, saya juga lihat dan ternyata benar beberapa orang berkaus Bonek sedang asyik memecahkan kaca-kaca kendaraan Aremania. Terjadilah kerusuhan, pertandingan dihentikan dan Aremania pulang, sepanjang perjalanan pulang (dengan berjalan kaki untuk melindungi kendaraan yang diposisikan ditengah) banyak terdapat gangguan dari kelompok Bonek yang memicu pertempuran-pertempuran kecil sepanjang jalan.
Pernah terjadi juga disekitaran tahun 2008 di Stadion Brawijaya-Kediri, bukan dengan Bonek atau dengan Suporter Persik-Kediri, tapi dengan wasit, panpel dan masyarakat Kediri. Sepanjang pertandingan Aremania tidak saja disajikan permainan keras antara Arema VS Persipura, tapi juga permainan wasit dan hakim garis, puncak kejengkelan adalah kemarahan dengan penyerangan seorang suporter terhadap seorang hakim garis. Kabarnya hal ini terkait dengan isu SMS dari oknum pesepakbolaan nasional yang mengatakan bahwa Arema harus kalah, hal ini juga mengingat waktu itu sponsor yang melekat di kostum Arema juga merupakan saingan sponsor liga. Tidak berselang lama, Stadion Brawijaya Kediri menjadi tungku api. Dalam perjalanan pulang Aremania juga terlibat pertempuran dengan masyarakat Kediri, memang ada pengawalan dari Polwil untuk iring-iringan Aremania ini tapi masyarakat Kediri sendiri ternyata nekat menyerang. Saya cukup kenal dengan polisi pengawalnya, dulu waktu masih jadi wartawan saya sering ketemu dan ngopi bareng sama beliau. Dalam iring-iringan tersebut, polisi pengawal ada didepan, dengan sangat bertanggung jawab pengawal ini selalu mengkonfirmasikan keamanan jalur-jalur yang akan dilalui~termasuk menanyakannya pada warga Kediri yang sedang bergerombol ditiap gang. Tidak lama, bapak polisi pengawal yang tadinya merasa aman-aman saja malah mendapat laporan penyerangan terhadap Aremania di barisan belakang, pecahlah pertempuran.
Kabar terakhir dari kejadian antara Bonek VS Aremania ternyata sudah dimulai ketika Aremania melintasi tol Sidoarjo, bis Aremania diserang kelompok Bonek dan sempat membalas dengan membakar motor milik penyerang, berlanjut seusai pertandingan dimana Bonek ternyata menunggu Aremania disekitaran 6 KM arah Waru, dalam kabar berita ini saya juga sempatkan membaca komentar-komentarnya, kesan bangga terhadap pembunuhan-pembunuhan sangat terlihat disini, kabarnya Bonek tewas seorang lalu diikuti komentar Aremania tewas dua orang, dan saya berpikir inikah kita? Masyarakat Indonesia yang bangga dengan dosa-dosa. Tapi inilah kita, upaya saling bunuh tidak saja ada dalam kancah perang suporter sepak bola, kita boleh bangga dengan pancasila dan semboyan "Bhineka tunggal ika", hanya bangga dan tidak terlaksana dalam keseharian kita.
Sekali lagi, kita akan dapat dengan mudah menemukan upaya-upaya untuk saling bunuh dalam masyarakat kita. Ada dua kutipan Niezsche yang selalu menarik bagi saya sebab menurut saya adalah sangat cocok untuk menggambarkan manusia Indonesia kekinian. "Dimana ada makhluk hidup, di situ ditemukan kehendak untuk kuasa. Bahkan dalam abdi ditemukan kehendak menjadi tuan" demikian pandangan Netzsche yang saya ambil dari karyanya, Zarathustra, senantiasa orang sekarang berlomba dalam suatu kompetisi untuk menaklukkan satu sama lain, dominan adalah kemenangan meskipun harus dengan saling bunuh-bunuhan. "Curigailah terhadap semua yang di dalam dirinya terdapat keinginan kuat untuk menghukum!" Dimana saya sadari hari ini, kebenaran dalam alam pikir manusia kekinian adalah berangkat dari egoisme, bahkan kebenaran ini selalu menjadi perlu untuk dipaksakan meskipun harus memanipulasi Tuhan.
Fanatisme buta, tindakan dan pola pikir yang berlebihan mengagungkan satu hal yang tidak pantas untuk diagungkan adalah kebodohan yang sengaja dipelihara oleh mereka yang sedang menikmati kenyamanan kekuasaan, tentu dengan menyembunyikan kecurangan-kecurangan tanpa peduli dengan janji Tuhan. Pertempuran suporter bagi saya adalah salah satu hal yang memang sedang dipertahankan karena ada nilai jualnya.
Banyak versi tentang kejadian ini, dan yang pasti dalam setiap perdebatan adalah menyalahkan satu sama lain. Ada yang bilang dalam perjalanan menuju Gresik Aremania sudah diserang oleh kelompok Bonek, ada juga yang bilang dalam perjalanan Aremania melakukan perusakan dan versi ini muncul dari media massa yang sepertinya mengupayakan terbentuknya arus utama pola pikir masyarakat. Ada juga yang mengatakan bahwa ada seorang penonton yang hanya karena menggunakan baju Bonek dikroyok hingga tewas oleh Aremania saat pertandingan Arema VS GU, lalu juga dengan hal yang serupa yang katanya terjadi di Stadion Gajayana sewaktu pertandingan antara Persema VS Persebaya (sehari sebelum Arema VS GU).
Saya jadi ingat beberapa kejadian sekitaran tahun 2001 di Sidoarjo, Stadion Gelora Delta Sidoarjo, waktu itu Aremania hadir dan mendominasi tribun penonton, mereka datang dengan kendaraan bermotor, belum lama pertandingan berlangsung dari luar stadion datang batu sebesar kepalan tangan, beberapa orang yang ada diatas kemudian teriak memberitahukan bahwa kendaraan-kendaraan yang sedang diparkir diluar dihancurkan oleh Bonek, saya juga lihat dan ternyata benar beberapa orang berkaus Bonek sedang asyik memecahkan kaca-kaca kendaraan Aremania. Terjadilah kerusuhan, pertandingan dihentikan dan Aremania pulang, sepanjang perjalanan pulang (dengan berjalan kaki untuk melindungi kendaraan yang diposisikan ditengah) banyak terdapat gangguan dari kelompok Bonek yang memicu pertempuran-pertempuran kecil sepanjang jalan.
Pernah terjadi juga disekitaran tahun 2008 di Stadion Brawijaya-Kediri, bukan dengan Bonek atau dengan Suporter Persik-Kediri, tapi dengan wasit, panpel dan masyarakat Kediri. Sepanjang pertandingan Aremania tidak saja disajikan permainan keras antara Arema VS Persipura, tapi juga permainan wasit dan hakim garis, puncak kejengkelan adalah kemarahan dengan penyerangan seorang suporter terhadap seorang hakim garis. Kabarnya hal ini terkait dengan isu SMS dari oknum pesepakbolaan nasional yang mengatakan bahwa Arema harus kalah, hal ini juga mengingat waktu itu sponsor yang melekat di kostum Arema juga merupakan saingan sponsor liga. Tidak berselang lama, Stadion Brawijaya Kediri menjadi tungku api. Dalam perjalanan pulang Aremania juga terlibat pertempuran dengan masyarakat Kediri, memang ada pengawalan dari Polwil untuk iring-iringan Aremania ini tapi masyarakat Kediri sendiri ternyata nekat menyerang. Saya cukup kenal dengan polisi pengawalnya, dulu waktu masih jadi wartawan saya sering ketemu dan ngopi bareng sama beliau. Dalam iring-iringan tersebut, polisi pengawal ada didepan, dengan sangat bertanggung jawab pengawal ini selalu mengkonfirmasikan keamanan jalur-jalur yang akan dilalui~termasuk menanyakannya pada warga Kediri yang sedang bergerombol ditiap gang. Tidak lama, bapak polisi pengawal yang tadinya merasa aman-aman saja malah mendapat laporan penyerangan terhadap Aremania di barisan belakang, pecahlah pertempuran.
Kabar terakhir dari kejadian antara Bonek VS Aremania ternyata sudah dimulai ketika Aremania melintasi tol Sidoarjo, bis Aremania diserang kelompok Bonek dan sempat membalas dengan membakar motor milik penyerang, berlanjut seusai pertandingan dimana Bonek ternyata menunggu Aremania disekitaran 6 KM arah Waru, dalam kabar berita ini saya juga sempatkan membaca komentar-komentarnya, kesan bangga terhadap pembunuhan-pembunuhan sangat terlihat disini, kabarnya Bonek tewas seorang lalu diikuti komentar Aremania tewas dua orang, dan saya berpikir inikah kita? Masyarakat Indonesia yang bangga dengan dosa-dosa. Tapi inilah kita, upaya saling bunuh tidak saja ada dalam kancah perang suporter sepak bola, kita boleh bangga dengan pancasila dan semboyan "Bhineka tunggal ika", hanya bangga dan tidak terlaksana dalam keseharian kita.
Sekali lagi, kita akan dapat dengan mudah menemukan upaya-upaya untuk saling bunuh dalam masyarakat kita. Ada dua kutipan Niezsche yang selalu menarik bagi saya sebab menurut saya adalah sangat cocok untuk menggambarkan manusia Indonesia kekinian. "Dimana ada makhluk hidup, di situ ditemukan kehendak untuk kuasa. Bahkan dalam abdi ditemukan kehendak menjadi tuan" demikian pandangan Netzsche yang saya ambil dari karyanya, Zarathustra, senantiasa orang sekarang berlomba dalam suatu kompetisi untuk menaklukkan satu sama lain, dominan adalah kemenangan meskipun harus dengan saling bunuh-bunuhan. "Curigailah terhadap semua yang di dalam dirinya terdapat keinginan kuat untuk menghukum!" Dimana saya sadari hari ini, kebenaran dalam alam pikir manusia kekinian adalah berangkat dari egoisme, bahkan kebenaran ini selalu menjadi perlu untuk dipaksakan meskipun harus memanipulasi Tuhan.
Fanatisme buta, tindakan dan pola pikir yang berlebihan mengagungkan satu hal yang tidak pantas untuk diagungkan adalah kebodohan yang sengaja dipelihara oleh mereka yang sedang menikmati kenyamanan kekuasaan, tentu dengan menyembunyikan kecurangan-kecurangan tanpa peduli dengan janji Tuhan. Pertempuran suporter bagi saya adalah salah satu hal yang memang sedang dipertahankan karena ada nilai jualnya.
Rabu, 06 Maret 2013
Pancasila dalam perdebatan
Demokrasi adalah tatanan suatu masyarakat yang didambakan terwujud dalam sebuah negara, seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Pun di negeri ini demokrasi masih menemukan bentuk penyempurnaannya dalam demokrasi pancasila yang hingga saat ini masih saja dalam upaya perumusan belum pada proses sosialisasi. Dalam hal ini seharusnya sudah mulai untuk disadari bahwa pelaksanaan demokrasi yang didasarkan pada liberalisme adalah mengarah pada anarkisme.
Demokrasi liberal hanya mengurusi kehidupan politik, kehidupan diluar politik adalah urusan individu yang berdasarkan pada kebebasan individu. Dari sinilah anarkisme berawal, apalagi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi sebagai suatu bentuk peradaban tinggi dilaksanakan oleh masyarakat yang berperadaban rendah (rendahnya peradaban ini bukan merupakan warisan sejarah, kita sebagai suatu masyarakat pernah mencapai peradaban tinggi pada jaman-jaman kerajaan, dan sebagai suatu bangsa kita pernah mengulanginya dengan keberhasilan merumuskan konsep pancasila, hanya saja dalam perkembangannya kita enggan untuk melaksanakan peradaban ini).
Keengganan melaksanakan konsep pancasila akan dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia saat ini yang cenderung berorientasi pada kebebasan hedonistik (menurut saya). Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat, tapi juga diperlihatkan (secara terang-terangan) dalam bernegara oleh beberapa kalangan politisi kita dan organisasi-organisasi yang ada.
Sebagaimana yang saya saksikan lewat tayangan di Metro TV, Indonesia Bersuara kemarin, selasa tanggal 5 Maret 2013 sekitar pukul 21.00 mengenai UU Ormas, dua partai Islam kemarin dipertemukan dalam suatu debat, PKB dan PKS. Sepertinya PKS cenderung tidak sepakat dengan UU tersebut karena sepertinya keberatan untuk mencantumkan pancasila dalam asas organisasi, sebaliknya PKB menyatakan hal tersebut wajib-mencantumkan pancasila sebagai asas organisasi, termasuk parpol. Kedua partai ini pada dasarnya sama-sama sepakat bahwa pancasila adalah kesepakatan berbangsa yang sifatnya final, tapi PKS lebih berpendirian untuk tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasi dengan alasan jika hal tersebut diberlakukan maka nantinya akan menjadi kesulitan tersendiri sebagaimana contoh yang dikedepankan oleh PKS tentang organisasi "pecinta perkutut" (alasan klasik menurut saya, dan pandangan seperti ini kesannya malah mau mensakralkan pancasila).
PKB mendebat hal tersebut lantaran ada ketentuan dalam UU ORMAS tersebut tidak hanya mencantumkan pancasila sebagai asas tunggal, masih ada ketentuan lain yang mengatakan boleh mencantumkan asas lain sebagai latar belakang organisasi yang ada. Kelanjutan perdebatan tidak perlu di tulis, pikiran saya sampai saat ini "apakah ormas yang ada bersama masyarakat saat ini mencantumkan (meskipun hanya formalitas) pancasila sebagai asas organisasinya?" Sebagaimana ketidak tahuan saya apakah ada parpol yang tidak mencantumkan pancasila sebagai asas organisasinya? Apakah organisasi semacam FPI tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya? Sedangkan parpol ideologi sekaliber PKI saja dalam sejarahnya juga mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya. Dan saya sedang menyaksikan perdebatan, untuk mencantumkan pancasila saja masih harus diperdebatkan.
Pancasila adalah kesepakatan luhur, ia bersifat final dan pancasila tidak bertentangan dengan ideologi dan agama apapun. Pancasila adalah gagasan akan suatu bangsa, perilaku dan pola pikir suatu bangsa yang diharapkan, ia harus dapat diwujudkan dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Bagi saya apapun organisasinya ya harus mencantumkan pancasila sebagai asasnya, toh hal ini masih diperlunak dengan ketentuan untuk turut menyertakan bentuk ideologi lain dalam organisasi, meskipun itu organisasi masyarakat pemancing ya harus tetap mencantumkan pancasila. Alasan hal ini adalah selain untuk memasyarakatkan pancasila itu sendiri tentunya juga untuk membangun etika-estetika masyarakat, mewujudkan kepedulian dan kepekaan sosial masyarakat agar tercapai suatu kebangsaan, nasionalisme yang tidak hanya sekedar bangga-banggaan semata tetapi nasionalisme yang berusaha memperbaiki hidup sesama.
Pun pancasila sebagai asas tunggal tidaklah sama dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila, dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila berarti hanya mengangkat sudut pandang seseorang saja terhadap pancasila, hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh regim ORBA dengan P4 nya yang pada akhirnya bukan pancasila yang dilaksanakan, tapi pandangan ORBA sendiri yang lebih memberi "blue print" dan lebih terkesan "Jawaisme". Sekali lagi, penerapan asas tunggal pancasila tidaklah sama dengan penafsiran tunggal atas pancasila, pun penerapan asas tunggal ini juga telah diperlunak.
Dan yang kita tolak adalah segala upaya pembenaran dari kecurangan dengan mengatasnamakan pancasila.
Demokrasi liberal hanya mengurusi kehidupan politik, kehidupan diluar politik adalah urusan individu yang berdasarkan pada kebebasan individu. Dari sinilah anarkisme berawal, apalagi yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi sebagai suatu bentuk peradaban tinggi dilaksanakan oleh masyarakat yang berperadaban rendah (rendahnya peradaban ini bukan merupakan warisan sejarah, kita sebagai suatu masyarakat pernah mencapai peradaban tinggi pada jaman-jaman kerajaan, dan sebagai suatu bangsa kita pernah mengulanginya dengan keberhasilan merumuskan konsep pancasila, hanya saja dalam perkembangannya kita enggan untuk melaksanakan peradaban ini).
Keengganan melaksanakan konsep pancasila akan dapat ditemui dalam masyarakat Indonesia saat ini yang cenderung berorientasi pada kebebasan hedonistik (menurut saya). Tidak hanya dalam kehidupan masyarakat, tapi juga diperlihatkan (secara terang-terangan) dalam bernegara oleh beberapa kalangan politisi kita dan organisasi-organisasi yang ada.
Sebagaimana yang saya saksikan lewat tayangan di Metro TV, Indonesia Bersuara kemarin, selasa tanggal 5 Maret 2013 sekitar pukul 21.00 mengenai UU Ormas, dua partai Islam kemarin dipertemukan dalam suatu debat, PKB dan PKS. Sepertinya PKS cenderung tidak sepakat dengan UU tersebut karena sepertinya keberatan untuk mencantumkan pancasila dalam asas organisasi, sebaliknya PKB menyatakan hal tersebut wajib-mencantumkan pancasila sebagai asas organisasi, termasuk parpol. Kedua partai ini pada dasarnya sama-sama sepakat bahwa pancasila adalah kesepakatan berbangsa yang sifatnya final, tapi PKS lebih berpendirian untuk tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasi dengan alasan jika hal tersebut diberlakukan maka nantinya akan menjadi kesulitan tersendiri sebagaimana contoh yang dikedepankan oleh PKS tentang organisasi "pecinta perkutut" (alasan klasik menurut saya, dan pandangan seperti ini kesannya malah mau mensakralkan pancasila).
PKB mendebat hal tersebut lantaran ada ketentuan dalam UU ORMAS tersebut tidak hanya mencantumkan pancasila sebagai asas tunggal, masih ada ketentuan lain yang mengatakan boleh mencantumkan asas lain sebagai latar belakang organisasi yang ada. Kelanjutan perdebatan tidak perlu di tulis, pikiran saya sampai saat ini "apakah ormas yang ada bersama masyarakat saat ini mencantumkan (meskipun hanya formalitas) pancasila sebagai asas organisasinya?" Sebagaimana ketidak tahuan saya apakah ada parpol yang tidak mencantumkan pancasila sebagai asas organisasinya? Apakah organisasi semacam FPI tidak mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya? Sedangkan parpol ideologi sekaliber PKI saja dalam sejarahnya juga mencantumkan pancasila dalam asas organisasinya. Dan saya sedang menyaksikan perdebatan, untuk mencantumkan pancasila saja masih harus diperdebatkan.
Pancasila adalah kesepakatan luhur, ia bersifat final dan pancasila tidak bertentangan dengan ideologi dan agama apapun. Pancasila adalah gagasan akan suatu bangsa, perilaku dan pola pikir suatu bangsa yang diharapkan, ia harus dapat diwujudkan dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Bagi saya apapun organisasinya ya harus mencantumkan pancasila sebagai asasnya, toh hal ini masih diperlunak dengan ketentuan untuk turut menyertakan bentuk ideologi lain dalam organisasi, meskipun itu organisasi masyarakat pemancing ya harus tetap mencantumkan pancasila. Alasan hal ini adalah selain untuk memasyarakatkan pancasila itu sendiri tentunya juga untuk membangun etika-estetika masyarakat, mewujudkan kepedulian dan kepekaan sosial masyarakat agar tercapai suatu kebangsaan, nasionalisme yang tidak hanya sekedar bangga-banggaan semata tetapi nasionalisme yang berusaha memperbaiki hidup sesama.
Pun pancasila sebagai asas tunggal tidaklah sama dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila, dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila berarti hanya mengangkat sudut pandang seseorang saja terhadap pancasila, hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh regim ORBA dengan P4 nya yang pada akhirnya bukan pancasila yang dilaksanakan, tapi pandangan ORBA sendiri yang lebih memberi "blue print" dan lebih terkesan "Jawaisme". Sekali lagi, penerapan asas tunggal pancasila tidaklah sama dengan penafsiran tunggal atas pancasila, pun penerapan asas tunggal ini juga telah diperlunak.
Dan yang kita tolak adalah segala upaya pembenaran dari kecurangan dengan mengatasnamakan pancasila.
Selasa, 05 Maret 2013
Melemahnya kepekaan-kepedulian sosial (peluang perilaku korupsi diberbagai lingkungan)
Kemarin sinyal modem bener-bener kacau, sampai tidak dapat diisi pulsa, jadinya hari ini baru dapat membuka blog. Atas kejadian tersebut saya berpikir ulang untuk memenuhi target sehari satu judul dalam waktu setahun kedepan (sudah gagal kemarin), dan mungkin akan lebih baik jika dapat berkonsentrasi dalam satu hal, kenyataannya tulisan saya bukannya tambah tajam malah terkesan tergesa-gesa. Pun ternyata saya tidak memiliki ketahanan fisik untuk hal tersebut (nulis apa olah raga?).
Harus diakui, menjadi penulis blogger adalah sangat mengasyikkan, hanya saja kalau jadi rutinitas malah membosankan. Kedepan harus ada perubahan, sementara saya masih berkutat (tersandera) dalam permasalahan keseharian: tentang kepekaan-kepedulian sosial dan penelantaran kemanusiaan, sudah pasti permasalahan ini akan menyumbang banyak pengaruhnya terhadap tulisan. Saya benci pengkhianat bangsa sebagaimana saya benci untuk di khianati, pun semua orang adalah seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang yang mengkhianati hatinya sendiri? Apalagi mencintainya. Ini arahnya kemana? Tapi demikianlah gambarannya, kita senantiasa tidak ingin dikhianati~mengalun pula "21 guns"nya Green Day saat saya mengetik ini.
Ada banyak buku yang harus saya baca ulang, ada banyak kota yang harus saya kunjungi (meskipun untuk sementara saya masih terpenjara di kota sendiri) dan akan lebih banyak hal yang dapat saya tulis sebab ada banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Indonesia, bangsa yang diangan-angankan belum juga diketemukan. Malah puitis?.
Kembali lagi pada masalah kepekaan sosial, kemarin di TVRI ada diskusi di suatu Universitas di Bali, membahas tentang korupsi, berawal dari pemilihan istilah "korupsi" yang diyakini adalah upaya untuk memperhalus bahasa. Menurut beberapa pembicaranya sebenarnya bangsa ini tidak mengenal istilah korupsi, bangsa ini hanya mengenal istilah "mencuri", terkait pada sebutan pelakunya maka hal ini harus diperhalus yaitu "koruptor" bukan maling, rampok ataupun garong. Padahal menurut saya lebih pas dengan tiga istilah terkahir tersebut.
Ada beberapa versi pendapat mengenai maraknya korupsi di negeri ini, versi pertama menyatakan bahwa maraknya korupsi terkait dengan semakin terbukanya informasi dibandingkan pada masa ORBA yang cenderung menutup-nutupi kejadian-kejadian yang seharusnya diketahui oleh publik (termasuk korupsi). Dari sudut pandang ini didapati bahwa sebenarnya korupsi adalah sudah menjadi tradisi, hanya saja karena terbukanya informasi maka masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mendapati perilaku korupsi dari media massa yang ada.
Pendapat kedua adalah semakin ketatnya aturan hukum, dimana sudut pandang pendapat ini menekankan pada perbaikan peraturan perundang-undangan yang semakin disempurnakan dari waktu ke waktu, dari sini didapati jika sebelum reformasi seseorang dapat saja melakukan korupsi dengan memperalat hukum yang ada, terdapat hal-hal yang masuk dalam kategori perilaku korupsi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan waktu itu dan setelah reformasi banyak hal diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan memberi hadiah kepada pejabat bisa saja dikatakan menyuap yang berarti adalah korupsi hari ini.
Pendapat ketiga adalah semakin rendahnya kepedulian sosial dan kepekaan sosial masyarakat, bukan hanya pejabat tapi seluruh lapisan masyarakat. Reformasi juga telah mengarahkan masyarakat pada sebentuk kesadaran individualistik, bukan tanpa sebab hal ini terjadi, bangsa ini seakan telah lelah mendapati dan terlibat dalam konflik-konflik yang pada dasarnya adalah konflik politik pada tataran pemerintahan pusat, masyarakat selalu saja ditempatkan sebagai kelompok yang memeriahkan konflik-konflik tersebut. Kebosanan ini muncul-tumbuh dalam masyarakat dalam bentuk apatisme yang kemudian mempengaruhi pula sikap dan pola pikir masyarakat kebanyakan, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hukum/peraturan-perundangan yang sangat tajam-ketat jika berhadapan dengan masyarakat kebanyakan (orang kecil) tapi tumpul dan seringnya malah terjebak dalam negosiasi ketika berhadapan dengan pejabat dan kaum ber'uang'.
Melemahnya kepekaan sosial-kepedulian sosial ini juga terjadi akibat masyarakat sendiri berorientasi cari selamat, lebih dari sekedar kebosanan untuk terlibat dalam konflik, tapi juga karena trauma. Kecenderungan untuk menghindari permasalahan yang ada yang malah berakibat fatal bagi masyarakat itu sendiri, misalnya saja dengan merebaknya kasus asusila belakangan ini. Kondisi ini pun bukan semata ada-berlangsung secara mandiri, atau muncul karena kecenderungan pola pikir masyarakat sebab sudah pasti ada yang memanfaatkan kecenderungan ini, yang berarti terdapat pihak-pihak yang mengharapkan masyarakat tetap dalam kondisinya; trauma, dimana kebutuhan hidup yang terus membebani dan sempitnya kesempatan kerja membuat masyarakat berpikir ulang untuk mengawasi lingkungannya.
Dengan melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial ini maka masyarakat menjadi lahan subur untuk ditanami bibit kecurangan, tiga kerangka kecurangan yang menjadi penyakit segala bangsa: korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukan suatu harapan untuk menjadi bangsa koruptif yang berarti suka mencuri yang berarti juga adalah bangsa "maling" bukan Indonesia yang demikian yang ingin diketemukan, tapi Indonesia yang berkepribadian, berketuhanan, berperikemanusiaan. Semoga saja, para negarawan mampu membaca dan mencarikan solusi atas hal ini, kita dapat berharap negarawan seperti Pak Mahfud MD dan Pak Yusril Ihza dapat bekerja sama dalam kerangka "bhineka tunggal ika" untuk membenahi bangsa ini.
Semoga.
Harus diakui, menjadi penulis blogger adalah sangat mengasyikkan, hanya saja kalau jadi rutinitas malah membosankan. Kedepan harus ada perubahan, sementara saya masih berkutat (tersandera) dalam permasalahan keseharian: tentang kepekaan-kepedulian sosial dan penelantaran kemanusiaan, sudah pasti permasalahan ini akan menyumbang banyak pengaruhnya terhadap tulisan. Saya benci pengkhianat bangsa sebagaimana saya benci untuk di khianati, pun semua orang adalah seperti itu, bagaimana mungkin kita dapat berdamai dengan orang yang mengkhianati hatinya sendiri? Apalagi mencintainya. Ini arahnya kemana? Tapi demikianlah gambarannya, kita senantiasa tidak ingin dikhianati~mengalun pula "21 guns"nya Green Day saat saya mengetik ini.
Ada banyak buku yang harus saya baca ulang, ada banyak kota yang harus saya kunjungi (meskipun untuk sementara saya masih terpenjara di kota sendiri) dan akan lebih banyak hal yang dapat saya tulis sebab ada banyak permasalahan yang harus diselesaikan. Indonesia, bangsa yang diangan-angankan belum juga diketemukan. Malah puitis?.
Kembali lagi pada masalah kepekaan sosial, kemarin di TVRI ada diskusi di suatu Universitas di Bali, membahas tentang korupsi, berawal dari pemilihan istilah "korupsi" yang diyakini adalah upaya untuk memperhalus bahasa. Menurut beberapa pembicaranya sebenarnya bangsa ini tidak mengenal istilah korupsi, bangsa ini hanya mengenal istilah "mencuri", terkait pada sebutan pelakunya maka hal ini harus diperhalus yaitu "koruptor" bukan maling, rampok ataupun garong. Padahal menurut saya lebih pas dengan tiga istilah terkahir tersebut.
Ada beberapa versi pendapat mengenai maraknya korupsi di negeri ini, versi pertama menyatakan bahwa maraknya korupsi terkait dengan semakin terbukanya informasi dibandingkan pada masa ORBA yang cenderung menutup-nutupi kejadian-kejadian yang seharusnya diketahui oleh publik (termasuk korupsi). Dari sudut pandang ini didapati bahwa sebenarnya korupsi adalah sudah menjadi tradisi, hanya saja karena terbukanya informasi maka masyarakat dapat dengan mudah dan cepat mendapati perilaku korupsi dari media massa yang ada.
Pendapat kedua adalah semakin ketatnya aturan hukum, dimana sudut pandang pendapat ini menekankan pada perbaikan peraturan perundang-undangan yang semakin disempurnakan dari waktu ke waktu, dari sini didapati jika sebelum reformasi seseorang dapat saja melakukan korupsi dengan memperalat hukum yang ada, terdapat hal-hal yang masuk dalam kategori perilaku korupsi yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan waktu itu dan setelah reformasi banyak hal diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bahkan memberi hadiah kepada pejabat bisa saja dikatakan menyuap yang berarti adalah korupsi hari ini.
Pendapat ketiga adalah semakin rendahnya kepedulian sosial dan kepekaan sosial masyarakat, bukan hanya pejabat tapi seluruh lapisan masyarakat. Reformasi juga telah mengarahkan masyarakat pada sebentuk kesadaran individualistik, bukan tanpa sebab hal ini terjadi, bangsa ini seakan telah lelah mendapati dan terlibat dalam konflik-konflik yang pada dasarnya adalah konflik politik pada tataran pemerintahan pusat, masyarakat selalu saja ditempatkan sebagai kelompok yang memeriahkan konflik-konflik tersebut. Kebosanan ini muncul-tumbuh dalam masyarakat dalam bentuk apatisme yang kemudian mempengaruhi pula sikap dan pola pikir masyarakat kebanyakan, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa hukum/peraturan-perundangan yang sangat tajam-ketat jika berhadapan dengan masyarakat kebanyakan (orang kecil) tapi tumpul dan seringnya malah terjebak dalam negosiasi ketika berhadapan dengan pejabat dan kaum ber'uang'.
Melemahnya kepekaan sosial-kepedulian sosial ini juga terjadi akibat masyarakat sendiri berorientasi cari selamat, lebih dari sekedar kebosanan untuk terlibat dalam konflik, tapi juga karena trauma. Kecenderungan untuk menghindari permasalahan yang ada yang malah berakibat fatal bagi masyarakat itu sendiri, misalnya saja dengan merebaknya kasus asusila belakangan ini. Kondisi ini pun bukan semata ada-berlangsung secara mandiri, atau muncul karena kecenderungan pola pikir masyarakat sebab sudah pasti ada yang memanfaatkan kecenderungan ini, yang berarti terdapat pihak-pihak yang mengharapkan masyarakat tetap dalam kondisinya; trauma, dimana kebutuhan hidup yang terus membebani dan sempitnya kesempatan kerja membuat masyarakat berpikir ulang untuk mengawasi lingkungannya.
Dengan melemahnya kepekaan dan kepedulian sosial ini maka masyarakat menjadi lahan subur untuk ditanami bibit kecurangan, tiga kerangka kecurangan yang menjadi penyakit segala bangsa: korupsi, kolusi dan nepotisme. Bukan suatu harapan untuk menjadi bangsa koruptif yang berarti suka mencuri yang berarti juga adalah bangsa "maling" bukan Indonesia yang demikian yang ingin diketemukan, tapi Indonesia yang berkepribadian, berketuhanan, berperikemanusiaan. Semoga saja, para negarawan mampu membaca dan mencarikan solusi atas hal ini, kita dapat berharap negarawan seperti Pak Mahfud MD dan Pak Yusril Ihza dapat bekerja sama dalam kerangka "bhineka tunggal ika" untuk membenahi bangsa ini.
Semoga.
Minggu, 03 Maret 2013
Catatan sejarah yang belum rampung dibaca
Hari ini, ingin jalan-jalan cari sepatu dan jaket, saya butuh dua hal tersebut, tapi lantaran modal tidak mencukupi maka harus dipilih salah satu, saya tidak tahan dingin dan saya juga butuh sepatu untuk berdiri dihadapan para siswa. Mungkin akan lebih baik jika jaketnya belakangan, sepasang sepatu nantinya juga bisa jadi modal.
Kata Pak Hadi diwilayahnya adalah sentra pengrajin sepatu kulit, ada banyak pilihan disana, Bululawang. Sedikit siang nanti saya akan berangkat kesana, salah satu dari wilayah santri, tidak seperti di Singosari, tiap kali berada di Bululawang saya berimajinasi tentang kondisi masyarakat di tahun 60-an, mungkin gara-gara terlalu serius membaca buku "Palu arit diladang tebu".
Dalam buku tersebut diceritakan bahwa wilayah yang terdapat pabrik gula adalah juga wilayah hegemoni, baik kelompok komunis maupun agamis (disini oleh PKI dan NU) menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai medan perebutan pengaruh, setiap ada pabrik gula pasti akan ada pesantren; pun LEKRA akan dihadapkan dengan LESBUMI. Pemilik lahan tebu akan berlindung dalam naungan NU~bahkan ada yang tiba-tiba berstatus "haji" atau "kyai" untuk mendapat simpati dari kalangan NU, ini bukan suatu hal yang kebetulan sebab propaganda PKI yang membenci feodalisme juga memasukkan para pemilik lahan sebagai daftar musuh lewat tujuh setan desanya.
Aksi perampasan lahan dan teror menjadi kabar harian, sebagaimana juga aksi balasannya dimana para pemilik lahan yang terampas lahannya mengorganisasikan santri untuk merebut kembali lahannya. Hal ini juga mengingatkan saya pada kasus "dukun santet" yang seringnya ditujukan kepada para ulama, pada masa itu kabarnya orang yang dituduh sebagai "dukun santet" dibantai oleh ninja, jadilah isu kehadiran "ninja" ini menjadi pengaruh tersendiri didalam masyarakat sampai-sampai sering terjadi pembunuhan terhadap beberapa orang gila yang dicurigai sebagai "ninja".
Pesantren adalah kantung budaya yang berupaya memposisikan dirinya sebagai perisai, pada masa 60-an pesantren~kususnya disekitaran pabrik gula juga diisi oleh para buruh dan petani tebu, tidak hanya sebagai wahana mencari pengetahuan spiritual tapi juga merupakan tempat perlindungan spiritual, yaitu sebagai tempat untuk me"refresh" kejiwaan para santri setelah seharian bergaul dan "bertempur" di wilayah hegemoni. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi karena PKI tidak seperti kebanyakan partai yang ada pada waktu itu yang mengedepankan kekuatan asing sebagai musuh, PKI lebih berkonsentrasi pada musuh-musuhnya yang berada didalam negeri. Disamping itu, juga lantaran berlakunya UU land reform, ini merupakan prasasti keberhasilan PKI dalam pemerintahan, yang oleh berlakunya UU land reform ini para kyai pemilik lahan menjadi korban terbesarnya.
...........................................................................................................................
Rencana seharusnya saya harus mampir ke rumah Pak Hadi, berhubung lupa gang dan hp yang tertinggal maka seharian berkeliling sendirian. Cari sepatu.
Sejak dari masuk Bululawang saya mulai menghitung jumlah Pondok Pesantren yang ada, tapi begitu mendapati sebuah toko jaket kulit (juga jual sepatu dan benda-benda dari kulit) hitungan saya langsung "buyar".
Ada satu PP terbesar diwilayah ini, An Nur kabarnya akronim dari nama pendirinya KH. Anwar Nur, menurut beberapa orang narasumber yang saya tanyai saat 'ngopi' beliau berasal dari Pamekasan-Madura, tapi ada juga pendapat yang membantah hal tersebut bahwa KH. Anwar Nur dilahirkan di Probolinggo. PP An Nur sendiri secara resmi didirikan pada tahun 1942, jadi jauh sebelum terjadinya peristiwa perebutan lahan pertanian. Sama sekali tidak terdapat penjelasan mengenai peristiwa sepanjang tahun 60-an di daerah Bululawang selain ada yang mengatakan bahwa banyak santri yang berdatangan pada waktu itu untuk mendapatkan ilmu kanuragan, tapi Kyai Anwar sendiri lebih mengedepankan ilmu pengetahuan ketimbang kanuragan. Mungkin butuh banyak waktu untuk mendalami hal ini, dan tentunya harus seijin pihak yang bersangkutan.
Sebagaimana juga penjelasan dari seorang bapak yang mengaku sebagai 'saksi mata peristiwa 65', di Malang "titik-titik pembantaian simpatisan PKI" adalah di Singosari, Tumpang dan Lawang. Malah dari penjelasan bapak yang tidak sempat saya ketahui namanya ini saya juga mendapati informasi tentang sebuah masjid di daerah Kota Lama-Malang, Masjid Muritsul Jannah, Pembangunannya pada tahun 1965 dan sesuai nama awalnya Mushola Darus Salam yang berarti "rumah keselamatan" yang pada akhirnya juga memberi keselamatan bagi penduduk sekitarnya waktu itu yang kebanyakan adalah anggota BTI. Cukup menarik.
.....................................................................................................................
Rencananya waktu perjalanan pulang mau mampir ke Masjid Muritsul Jannah, tapi saya malah mengarah ke daerah Kacuk~mungkin waktu itu saya sedang melamun dan sepertinya hujan sudah tidak tahan lagi untuk mengguyur Kota Malang yang sedang memanas maka saya putuskan untuk menunda rencana terakhir saya itu. Sungguh saya masih penasaran dengan peristiwa berdarah yang sebenarnya murni konflik politik yang sebenarnya juga merupakan peristiwa genosida ini.
Bukan bermaksud mengungkit kejadian kelam, tapi memang pada dasarnya sudah penasaran dan saya tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Saya pulang dengan membawa sepasang sepatu "safety" dan harapan akan ada waktu luang untuk memperdalam hal-hal ini.
Kata Pak Hadi diwilayahnya adalah sentra pengrajin sepatu kulit, ada banyak pilihan disana, Bululawang. Sedikit siang nanti saya akan berangkat kesana, salah satu dari wilayah santri, tidak seperti di Singosari, tiap kali berada di Bululawang saya berimajinasi tentang kondisi masyarakat di tahun 60-an, mungkin gara-gara terlalu serius membaca buku "Palu arit diladang tebu".
Dalam buku tersebut diceritakan bahwa wilayah yang terdapat pabrik gula adalah juga wilayah hegemoni, baik kelompok komunis maupun agamis (disini oleh PKI dan NU) menjadikan wilayah-wilayah tersebut sebagai medan perebutan pengaruh, setiap ada pabrik gula pasti akan ada pesantren; pun LEKRA akan dihadapkan dengan LESBUMI. Pemilik lahan tebu akan berlindung dalam naungan NU~bahkan ada yang tiba-tiba berstatus "haji" atau "kyai" untuk mendapat simpati dari kalangan NU, ini bukan suatu hal yang kebetulan sebab propaganda PKI yang membenci feodalisme juga memasukkan para pemilik lahan sebagai daftar musuh lewat tujuh setan desanya.
Aksi perampasan lahan dan teror menjadi kabar harian, sebagaimana juga aksi balasannya dimana para pemilik lahan yang terampas lahannya mengorganisasikan santri untuk merebut kembali lahannya. Hal ini juga mengingatkan saya pada kasus "dukun santet" yang seringnya ditujukan kepada para ulama, pada masa itu kabarnya orang yang dituduh sebagai "dukun santet" dibantai oleh ninja, jadilah isu kehadiran "ninja" ini menjadi pengaruh tersendiri didalam masyarakat sampai-sampai sering terjadi pembunuhan terhadap beberapa orang gila yang dicurigai sebagai "ninja".
Pesantren adalah kantung budaya yang berupaya memposisikan dirinya sebagai perisai, pada masa 60-an pesantren~kususnya disekitaran pabrik gula juga diisi oleh para buruh dan petani tebu, tidak hanya sebagai wahana mencari pengetahuan spiritual tapi juga merupakan tempat perlindungan spiritual, yaitu sebagai tempat untuk me"refresh" kejiwaan para santri setelah seharian bergaul dan "bertempur" di wilayah hegemoni. Perlu diingat bahwa hal ini terjadi karena PKI tidak seperti kebanyakan partai yang ada pada waktu itu yang mengedepankan kekuatan asing sebagai musuh, PKI lebih berkonsentrasi pada musuh-musuhnya yang berada didalam negeri. Disamping itu, juga lantaran berlakunya UU land reform, ini merupakan prasasti keberhasilan PKI dalam pemerintahan, yang oleh berlakunya UU land reform ini para kyai pemilik lahan menjadi korban terbesarnya.
...........................................................................................................................
Rencana seharusnya saya harus mampir ke rumah Pak Hadi, berhubung lupa gang dan hp yang tertinggal maka seharian berkeliling sendirian. Cari sepatu.
Sejak dari masuk Bululawang saya mulai menghitung jumlah Pondok Pesantren yang ada, tapi begitu mendapati sebuah toko jaket kulit (juga jual sepatu dan benda-benda dari kulit) hitungan saya langsung "buyar".
Ada satu PP terbesar diwilayah ini, An Nur kabarnya akronim dari nama pendirinya KH. Anwar Nur, menurut beberapa orang narasumber yang saya tanyai saat 'ngopi' beliau berasal dari Pamekasan-Madura, tapi ada juga pendapat yang membantah hal tersebut bahwa KH. Anwar Nur dilahirkan di Probolinggo. PP An Nur sendiri secara resmi didirikan pada tahun 1942, jadi jauh sebelum terjadinya peristiwa perebutan lahan pertanian. Sama sekali tidak terdapat penjelasan mengenai peristiwa sepanjang tahun 60-an di daerah Bululawang selain ada yang mengatakan bahwa banyak santri yang berdatangan pada waktu itu untuk mendapatkan ilmu kanuragan, tapi Kyai Anwar sendiri lebih mengedepankan ilmu pengetahuan ketimbang kanuragan. Mungkin butuh banyak waktu untuk mendalami hal ini, dan tentunya harus seijin pihak yang bersangkutan.
Sebagaimana juga penjelasan dari seorang bapak yang mengaku sebagai 'saksi mata peristiwa 65', di Malang "titik-titik pembantaian simpatisan PKI" adalah di Singosari, Tumpang dan Lawang. Malah dari penjelasan bapak yang tidak sempat saya ketahui namanya ini saya juga mendapati informasi tentang sebuah masjid di daerah Kota Lama-Malang, Masjid Muritsul Jannah, Pembangunannya pada tahun 1965 dan sesuai nama awalnya Mushola Darus Salam yang berarti "rumah keselamatan" yang pada akhirnya juga memberi keselamatan bagi penduduk sekitarnya waktu itu yang kebanyakan adalah anggota BTI. Cukup menarik.
.....................................................................................................................
Rencananya waktu perjalanan pulang mau mampir ke Masjid Muritsul Jannah, tapi saya malah mengarah ke daerah Kacuk~mungkin waktu itu saya sedang melamun dan sepertinya hujan sudah tidak tahan lagi untuk mengguyur Kota Malang yang sedang memanas maka saya putuskan untuk menunda rencana terakhir saya itu. Sungguh saya masih penasaran dengan peristiwa berdarah yang sebenarnya murni konflik politik yang sebenarnya juga merupakan peristiwa genosida ini.
Bukan bermaksud mengungkit kejadian kelam, tapi memang pada dasarnya sudah penasaran dan saya tidak ingin kejadian serupa terulang lagi. Saya pulang dengan membawa sepasang sepatu "safety" dan harapan akan ada waktu luang untuk memperdalam hal-hal ini.
Sabtu, 02 Maret 2013
Obrolan kemerdekaan di warkop
Buru-buru saya keluar dari gerbang sekolah, ingin lekas bersantai sambil minum kopi. Rencana awal mau beli koran dulu tapi kedainya tutup, jadilah ngopi tanpa baca koran. Jam delapan keadaan jalan masih lengang, kira-kira nanti masuk jam sembilanan Jl. A. Yani macet, ini hari sabtu, selalu seperti itu, jadi pertimbangan letak warung kopi harus tepat, beberapa warung favorit tidak masuk dalam pilihan karena lokasinya jika hari sabtu adalah tidak tepat. Pertimbangannya adalah seminimal mungkin terlibat kemacetan pas pulang.
Hal demikian saya ungkapkan juga dimimbar warung kopi yang dihadiri dua orang supir angkot, seorang penarik becak motor, seorang sales, tiga orang pelajar yang sedang bolos dan seorang yang tidak jelas. Si pemilik warung dan tiga pelajar blo'on hanya tertawa, tapi salah seorang sopir angkot melempar isu politis untuk menanggapinya "ini republik merdeka tapi tidak memberi banyak kesempatan pada warganya, semua orang turun kejalan mencari rejeki tapi masih juga berhadapan dengan sarana transportasi yang tidak layak" mirip dengan tokoh-tokoh politik di acara ILC.
Meja di warung ini berbentuk "L", tidak seperti kebanyakan warung yang saya temui yang selalu ada pembatas etalase antara pengunjung dengan penjual, disini etalase yang berisi sajian masakan berada disamping sebelah utara, dan rupanya dapurnya bertempat di belakang. Saya duduk paling ujung sebelah selatan dan masih dapat mengawasi gerik-tingkah pengunjung yang ada.
Oleh isu dari bapak sopir tersebut pemilik warung juga melempar pandangannya "lha wong sing merdeka kae negarane dudu rakyate" dengan aksen Blitar yang maksudnya 'yang merdeka itu negaranya bukan rakyatnya' pandangan sederhana tapi briliant, tidak semua orang menyadari hal ini. Jadi tambah provokatif ketika bapak penarik becak motor berkomentar "sing merdeka rajane, wong cilik uripe yo mek ngene-ngene iki" yang ini aksen jalanan Malang tanpa bahasa "wali'an" maksudnya 'yang merdeka rajanya, orang kecil hidupnya ya cuman begini-begini saja". Tiga bocah blo'on yang tadi hanya mendengar dengan tertawa kini bertingkah, salah satunya berseloroh "merdeka mek omong thok" maksudnya 'merdeka hanya kata' kurang lebih demikian maksudnya.
Sejenak saya mendapati kembali 'kemelut' dalam pikiran, sejarah politik tanah nusantara. Ada yang bilang bahwa para raja awalnya adalah petani, lalu memiliki kekuasaan karena berbagai hal dan terutama sekali adalah wilayah, berikutnya adalah kepemilikan alat produksi tapi kepemilikan tanah adalah yang utama dengan kekuasaan atas lahan garapan orang bisa menang atas yang lain. Di jaman kolonial pernah ada kebijakan yang kita kenal dengan istilah politik etis, merupakan kritik terhadap sistem tanam paksa, politik etis ini terangkum dalam trias Van Deventer: (1) Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi, (3) Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Meskipun begitu masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, irigrasi yang kemudian diketahui hanya untuk keuntungan lahan-lahan swasta Belanda, migrasi yang ternyata hanyalah sekedar memindah lokasi tanam paksa tersebut, dan edukasi dengan pembangunan gedung-gedung sekolah yang seharusnya ditujukan kepada semua kalangan ternyata hanya dapat dinikmati secara eksklusif, hanya untuk pribumi yang beruntung memiliki harta berlebih dan kalangan bangsawannya. Rakyat jelata, tentu ditelantarkan.
Jaman Jepang sepertinya lebih menyengsarakan lagi hingga muncul harapan lewat momentum proklamasi 17 Agustus 1945, harapan bagi bangsa yang yang sudah terlalu lama diinjak-injak kemanusiaannya untuk kembali membangun harkat dan martabat kemanusiaan dan kebangsaannya, tentu harapan untuk dapat berdiri sejajar dengan manusia-manusia lain; bangsa-bangsa lain di dunia.
Tapi apalah daya, borjuasi masih kuat dan bergelimang kemudahan di negeri ini, konsekuensinya tentu kembali mengorbankan harapan rakyat jelata yang oleh Soekarno disebut "rakyat mashaen" ini. Masuk jaman ORBA keadaan malah memburuk dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila dibawah kekuasaan regim hegemonik, bahkan lebih mirip kerajaan daripada negara kesatuan.
Sebagaimana pandangan si pemilik warung, yang merdeka adalah negaranya bukan rakyatnya, tentunya pengertian negara dan rakyat harus dipisahkan disini meskipun rakyat adalah unsur dari terbentuknya negara. Tapi dengan kenyataan yang memberi kesan mengarah pada suatu negara kelas, maka wajar saja orang mulai memisahkan antara negara dan rakyat.
Bapak penarik becak motor menyambung obrolan "jaman kerajaan karo jaman kemerdekaan podo ae, ucul tekan rojo Jowo dijajah rojo londo, terus Jepang, saiki yo podho ae, rojone akeh yo wong Jowo, Cino, londo kabeh podo teko njajah" artinya "jaman kerajaan sama jaman kemerdekaan sama saja, lepas dari raja Jawa dijajah raja Belanda, terus Jepang, sekarang ya sama saja, rajanya banyak ya orang Jawa, Cina dan Belanda semua datang menjajah" lalu obrolan saya tutup dengan membayar segelas kopi dan pamit pulang. Memacu motor matic dengan merdeka menuju rumah, untunglah orang-orang itu tidak tahu kalau saya masih ada garis keturunan dari kerajaan Madura.
Hal demikian saya ungkapkan juga dimimbar warung kopi yang dihadiri dua orang supir angkot, seorang penarik becak motor, seorang sales, tiga orang pelajar yang sedang bolos dan seorang yang tidak jelas. Si pemilik warung dan tiga pelajar blo'on hanya tertawa, tapi salah seorang sopir angkot melempar isu politis untuk menanggapinya "ini republik merdeka tapi tidak memberi banyak kesempatan pada warganya, semua orang turun kejalan mencari rejeki tapi masih juga berhadapan dengan sarana transportasi yang tidak layak" mirip dengan tokoh-tokoh politik di acara ILC.
Meja di warung ini berbentuk "L", tidak seperti kebanyakan warung yang saya temui yang selalu ada pembatas etalase antara pengunjung dengan penjual, disini etalase yang berisi sajian masakan berada disamping sebelah utara, dan rupanya dapurnya bertempat di belakang. Saya duduk paling ujung sebelah selatan dan masih dapat mengawasi gerik-tingkah pengunjung yang ada.
Oleh isu dari bapak sopir tersebut pemilik warung juga melempar pandangannya "lha wong sing merdeka kae negarane dudu rakyate" dengan aksen Blitar yang maksudnya 'yang merdeka itu negaranya bukan rakyatnya' pandangan sederhana tapi briliant, tidak semua orang menyadari hal ini. Jadi tambah provokatif ketika bapak penarik becak motor berkomentar "sing merdeka rajane, wong cilik uripe yo mek ngene-ngene iki" yang ini aksen jalanan Malang tanpa bahasa "wali'an" maksudnya 'yang merdeka rajanya, orang kecil hidupnya ya cuman begini-begini saja". Tiga bocah blo'on yang tadi hanya mendengar dengan tertawa kini bertingkah, salah satunya berseloroh "merdeka mek omong thok" maksudnya 'merdeka hanya kata' kurang lebih demikian maksudnya.
Sejenak saya mendapati kembali 'kemelut' dalam pikiran, sejarah politik tanah nusantara. Ada yang bilang bahwa para raja awalnya adalah petani, lalu memiliki kekuasaan karena berbagai hal dan terutama sekali adalah wilayah, berikutnya adalah kepemilikan alat produksi tapi kepemilikan tanah adalah yang utama dengan kekuasaan atas lahan garapan orang bisa menang atas yang lain. Di jaman kolonial pernah ada kebijakan yang kita kenal dengan istilah politik etis, merupakan kritik terhadap sistem tanam paksa, politik etis ini terangkum dalam trias Van Deventer: (1) Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian, (2) Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi, (3) Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan.
Meskipun begitu masih terdapat penyimpangan dalam pelaksanaannya, irigrasi yang kemudian diketahui hanya untuk keuntungan lahan-lahan swasta Belanda, migrasi yang ternyata hanyalah sekedar memindah lokasi tanam paksa tersebut, dan edukasi dengan pembangunan gedung-gedung sekolah yang seharusnya ditujukan kepada semua kalangan ternyata hanya dapat dinikmati secara eksklusif, hanya untuk pribumi yang beruntung memiliki harta berlebih dan kalangan bangsawannya. Rakyat jelata, tentu ditelantarkan.
Jaman Jepang sepertinya lebih menyengsarakan lagi hingga muncul harapan lewat momentum proklamasi 17 Agustus 1945, harapan bagi bangsa yang yang sudah terlalu lama diinjak-injak kemanusiaannya untuk kembali membangun harkat dan martabat kemanusiaan dan kebangsaannya, tentu harapan untuk dapat berdiri sejajar dengan manusia-manusia lain; bangsa-bangsa lain di dunia.
Tapi apalah daya, borjuasi masih kuat dan bergelimang kemudahan di negeri ini, konsekuensinya tentu kembali mengorbankan harapan rakyat jelata yang oleh Soekarno disebut "rakyat mashaen" ini. Masuk jaman ORBA keadaan malah memburuk dengan penafsiran tunggal terhadap pancasila dibawah kekuasaan regim hegemonik, bahkan lebih mirip kerajaan daripada negara kesatuan.
Sebagaimana pandangan si pemilik warung, yang merdeka adalah negaranya bukan rakyatnya, tentunya pengertian negara dan rakyat harus dipisahkan disini meskipun rakyat adalah unsur dari terbentuknya negara. Tapi dengan kenyataan yang memberi kesan mengarah pada suatu negara kelas, maka wajar saja orang mulai memisahkan antara negara dan rakyat.
Bapak penarik becak motor menyambung obrolan "jaman kerajaan karo jaman kemerdekaan podo ae, ucul tekan rojo Jowo dijajah rojo londo, terus Jepang, saiki yo podho ae, rojone akeh yo wong Jowo, Cino, londo kabeh podo teko njajah" artinya "jaman kerajaan sama jaman kemerdekaan sama saja, lepas dari raja Jawa dijajah raja Belanda, terus Jepang, sekarang ya sama saja, rajanya banyak ya orang Jawa, Cina dan Belanda semua datang menjajah" lalu obrolan saya tutup dengan membayar segelas kopi dan pamit pulang. Memacu motor matic dengan merdeka menuju rumah, untunglah orang-orang itu tidak tahu kalau saya masih ada garis keturunan dari kerajaan Madura.
Jumat, 01 Maret 2013
Masyarakat feodal kita, masyarakat sinetron kita
Hari pertama di bulan Maret, di luar banyak orang sedang bergegas-terburu, berlewatan dengan suara motor yang menderu-terburu. Masyarakat feodal kita, masyarakat yang masih terkesima sekalian berharap datangnya figur-figur penghibur daripada pejuang. Kita masih terjebak dalam gaya feodalisme dan bayang-angan kehadiran figur, mungkin masih hebatnya hegemoni "satria piningit" yang diramalkan pada masa kerajaan dahulu, disamping tidak terdapatnya sosok-sosok pejuang yang muncul. Pun bila muncul sosok pejuang sudah pasti akan menjadi sasaran yang diposisikan sebagai lawan bersama diatas panggung politik dimanapun, kapanpun.
Figur jadi pilihan utama, seperti ketika kita melihat film, ada yang dibenci dan ada yang dipuja sebagai pahlawan, dan demikian itulah yang dikedepankan untuk menjual film dan sinetron tanah air, disamping gambaran betapa nyamannya kehidupan tuan dan nyonya borjuis kita. Dan watak masyarakat feodal masih tetap dipertahankan, diperjuangkan dalam berbagai hal, termasuk lewat tontonan-tontonan, jadi track record bukan lagi sebuah pilihan sebab figur (tampilan) yang mengesankan~seperti tokoh pujaan dalam film dan sinetron adalah yang utama.
Feodalisme, ini istilah untuk menyebutkan suatu tatanan, ismenya adalah paham yang berarti adalah suatu gagasan, tentu gagasan tentang sebuah tatanan yaitu tatanan masyarakat. Feodalisme secara teorinya adalah pendelegasian kekuasaan politik kepada para bangsawan untuk mengendalikan wilayah lewat kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal, dan dalam perkembangannya muncul pula istilah "masyarakat feodal" dimana dalam gagasan "feodalisme" ini turut dibicarakan aspek kehidupan para pekerja di atas lahan milik penguasa tanah. Di Indonesia sendiri istilah ini menjadi sacarstic dengan menggunakan istilah feodal ini untuk menunjuk pada suatu pelaksanaan kekuasaan yang lalim, gila hormat dan/ kolot, yang pasti sudah melenceng jauh dari pengertian awalnya.
Tapi mau bagaimana lagi, feodalisme yang terlaksana di negeri ini adalah juga tentang keserakahan, sepanjang sejarahnya pun demikian dan hingga hari ini menyisakan pola pikir yang sebenarnya tidak sehat bagi masyarakat kebanyakan. Mungkin karena orientasi duniawi, tapi kehormatan dan terpandang sebagai seorang bangsawan rasanya cukup menyenangkan hingga tiap-tiap orang (mutlak) ingin berkuasa.
Dalam situasi seperti itu maka potensi kecurangan semakin luas, kenyataannya bahwa feodalisme di negeri ini-saat ini dibangun atas dasar kecurangan, terdapat sebuah fakta lagi dimana kaum kapitalis negeri ini juga menjalankan kewiraswastaannya dalam kerangka korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan kewiraswastaan tersebut berlangsung sekedar untuk praktik pencucian uang bagi para koruptor dimanapun dan kapanpun.
Untuk menjadi pahlawan dalam situasi demikian pun akan sangat mudah, tentu lewat pencitraan, membangun kharisma atau dengan merancang sandiwara dengan menempatkan diri sebagai sosok yang dipuja dan didambakan sebagaimana kisah sinetron dimana tokoh pujaan selalu dihadirkan sebagai solusi sekaligus korban dari keadaan. Sekali lagi track record menjadi tidak berlaku disini.
Etika dan estetika yang seharusnya dibangun seimbang malah terkesan tidak sinkron, kini estetika mengalahkan etika meskipun logikanya estetika ada-tumbuh atas bangunan etika, nanti yang dipersalahkan adalah demokrasi, padahal sebagaimana yang saya rasakan demokrasi sama sekali tidak berjalan atas bangsa ini.
Figur jadi pilihan utama, seperti ketika kita melihat film, ada yang dibenci dan ada yang dipuja sebagai pahlawan, dan demikian itulah yang dikedepankan untuk menjual film dan sinetron tanah air, disamping gambaran betapa nyamannya kehidupan tuan dan nyonya borjuis kita. Dan watak masyarakat feodal masih tetap dipertahankan, diperjuangkan dalam berbagai hal, termasuk lewat tontonan-tontonan, jadi track record bukan lagi sebuah pilihan sebab figur (tampilan) yang mengesankan~seperti tokoh pujaan dalam film dan sinetron adalah yang utama.
Feodalisme, ini istilah untuk menyebutkan suatu tatanan, ismenya adalah paham yang berarti adalah suatu gagasan, tentu gagasan tentang sebuah tatanan yaitu tatanan masyarakat. Feodalisme secara teorinya adalah pendelegasian kekuasaan politik kepada para bangsawan untuk mengendalikan wilayah lewat kerja sama dengan pemimpin-pemimpin lokal, dan dalam perkembangannya muncul pula istilah "masyarakat feodal" dimana dalam gagasan "feodalisme" ini turut dibicarakan aspek kehidupan para pekerja di atas lahan milik penguasa tanah. Di Indonesia sendiri istilah ini menjadi sacarstic dengan menggunakan istilah feodal ini untuk menunjuk pada suatu pelaksanaan kekuasaan yang lalim, gila hormat dan/ kolot, yang pasti sudah melenceng jauh dari pengertian awalnya.
Tapi mau bagaimana lagi, feodalisme yang terlaksana di negeri ini adalah juga tentang keserakahan, sepanjang sejarahnya pun demikian dan hingga hari ini menyisakan pola pikir yang sebenarnya tidak sehat bagi masyarakat kebanyakan. Mungkin karena orientasi duniawi, tapi kehormatan dan terpandang sebagai seorang bangsawan rasanya cukup menyenangkan hingga tiap-tiap orang (mutlak) ingin berkuasa.
Dalam situasi seperti itu maka potensi kecurangan semakin luas, kenyataannya bahwa feodalisme di negeri ini-saat ini dibangun atas dasar kecurangan, terdapat sebuah fakta lagi dimana kaum kapitalis negeri ini juga menjalankan kewiraswastaannya dalam kerangka korupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan kewiraswastaan tersebut berlangsung sekedar untuk praktik pencucian uang bagi para koruptor dimanapun dan kapanpun.
Untuk menjadi pahlawan dalam situasi demikian pun akan sangat mudah, tentu lewat pencitraan, membangun kharisma atau dengan merancang sandiwara dengan menempatkan diri sebagai sosok yang dipuja dan didambakan sebagaimana kisah sinetron dimana tokoh pujaan selalu dihadirkan sebagai solusi sekaligus korban dari keadaan. Sekali lagi track record menjadi tidak berlaku disini.
Etika dan estetika yang seharusnya dibangun seimbang malah terkesan tidak sinkron, kini estetika mengalahkan etika meskipun logikanya estetika ada-tumbuh atas bangunan etika, nanti yang dipersalahkan adalah demokrasi, padahal sebagaimana yang saya rasakan demokrasi sama sekali tidak berjalan atas bangsa ini.
Kamis, 28 Februari 2013
Poltik, sepak bola dan musik
Ini tulisan ke lima puluh delapan dan ini adalah hari terakhir bulan Februari, Arema unggul 4-2 atas tamunya Pelita Bandung Raya dalam laga yang kurang enak ditonton dan Korea memutuskan untuk menunda kerja sama pesawat tempur dengan RI.
Saya kembali membaca buku "Palu arit di ladang tebu" masih pada bagian awal, pada bagian yang menjelaskan kondisi politik era demokrasi terpimpin, tembang-tembang Dewa 19 tidak berhenti sejak siang, berulang-ulang dari tembang "elang" hingga "kamulah satu-satunya" hanya satu lagu yang divokali oleh Once, cemburu, selebihnya oleh Ari Lasso. Dunia bola dan musik punya politiknya sendiri dan pada dasarnya kepentingannya adalah sama, dominan.
Politik (parpol dan pemerintah), sepak bola dan musik adalah hiburan bagi masyarakat kebanyakan, terkait apa yang harus didukung dan apa yang harus menjadi sasaran atau tempat setiap umpat dan cacian. Apa yang harus dipertaruhkan. Masing-masing adalah pemicu dari komentar-komentar dan pertarungan gengsi yang tidak hanya terjadi dialami oleh pelaku ketiga ruang hiburan tersebut, tapi juga oleh masyarakat kebanyakan. Semua orang boleh dan bebas berkomentar. Tanpa batasan.
Kita bisa duduk diam didepan televisi menyaksikan tiga hal tersebut secara bergantian atau sekaligus mendapati informasinya secara bersamaan, dengan diam atau dengan menggerutu atau bahkan sambil mengekspresikan sikap secara terbuka, bisa marah-ngomel atau tetap tenang dan tertawa-gembira, mengejek, sebebas kita mengekspresikannya.
Atau cukup dengan diam sembari mengikuti arus utama, tentu arus yang muncul dari komentator-komentator yang sudah disiapkan media massa. Dan pada akhirnya semuanya harus tergantung pada pasar, arus utamalah yang mengorgainir masyarakat kebanyakan untuk menumbuhkan pasar. Hidup jadi sebuah perjudian besar.
Sepak bola dan musik sudah jelas beorientasi pada pasar, politik juga seperti itu meskipun dengan malu-malu. Dunia hiburan, segalanya harus layak diperdagangkan, isu adalah komoditi andalan sebab tiap tingkah dan aksi pelaku (yang ditonton) akan menjadi bahan pembicaraan.
Semua orang butuh bicara, setiap orang perlu menumpahkan emosi yang terhimpit oleh keadaan, dan isu dari aktor-aktor dunia hiburan inilah yang selalu ditunggu untuk menjadi sasaran pembicaraan. Dari polemik sepak bola nasional, persiapan pesta demokrasi yang sekaligus berlangsungnya pilkada di daerah hingga kasus-kasus yang membelit para pekerja seni (juga termasuk para politisi dan atlet sepak bola) menjadi sajian tersendiri, hiburan disela kesibukan sehari-hari yang dapat kita tertawakan, kita cibir atau sekedar kita beri simpati tanpa mampu memberi solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada, sebab kita tidak sedang bermain didalamnya, sebaliknya seringnya kita yang dipermainkan karena pasar harus segera terbentuk.
Kita, masyarakat, dibentuk oleh kebingungan lalu dijual, yang membeli adalah kita sendiri, sederhananya masyarakat kebanyakan adalah korban. Jika hal ini disangkal, lalu kenapa para pelaku tidak pernah bertindak atas nama kita, kita sebagai masyarakat yang terjerumus dalam ketidak berdayaan? Hanya kalau sempat saja mereka berbicara atas nama kita, bukan bertindak atas nama kita. Atau kita, hanya sekedar angka-angka yang sedang diperjudikan?.
Malam Jum'at dengan secangkir nikmat yang pekat, berharap dapat menemukan bangsa yang bermartabat, berdaulat dengan senyum hangat yang bersahabat. Cheers.
Saya kembali membaca buku "Palu arit di ladang tebu" masih pada bagian awal, pada bagian yang menjelaskan kondisi politik era demokrasi terpimpin, tembang-tembang Dewa 19 tidak berhenti sejak siang, berulang-ulang dari tembang "elang" hingga "kamulah satu-satunya" hanya satu lagu yang divokali oleh Once, cemburu, selebihnya oleh Ari Lasso. Dunia bola dan musik punya politiknya sendiri dan pada dasarnya kepentingannya adalah sama, dominan.
Politik (parpol dan pemerintah), sepak bola dan musik adalah hiburan bagi masyarakat kebanyakan, terkait apa yang harus didukung dan apa yang harus menjadi sasaran atau tempat setiap umpat dan cacian. Apa yang harus dipertaruhkan. Masing-masing adalah pemicu dari komentar-komentar dan pertarungan gengsi yang tidak hanya terjadi dialami oleh pelaku ketiga ruang hiburan tersebut, tapi juga oleh masyarakat kebanyakan. Semua orang boleh dan bebas berkomentar. Tanpa batasan.
Kita bisa duduk diam didepan televisi menyaksikan tiga hal tersebut secara bergantian atau sekaligus mendapati informasinya secara bersamaan, dengan diam atau dengan menggerutu atau bahkan sambil mengekspresikan sikap secara terbuka, bisa marah-ngomel atau tetap tenang dan tertawa-gembira, mengejek, sebebas kita mengekspresikannya.
Atau cukup dengan diam sembari mengikuti arus utama, tentu arus yang muncul dari komentator-komentator yang sudah disiapkan media massa. Dan pada akhirnya semuanya harus tergantung pada pasar, arus utamalah yang mengorgainir masyarakat kebanyakan untuk menumbuhkan pasar. Hidup jadi sebuah perjudian besar.
Sepak bola dan musik sudah jelas beorientasi pada pasar, politik juga seperti itu meskipun dengan malu-malu. Dunia hiburan, segalanya harus layak diperdagangkan, isu adalah komoditi andalan sebab tiap tingkah dan aksi pelaku (yang ditonton) akan menjadi bahan pembicaraan.
Semua orang butuh bicara, setiap orang perlu menumpahkan emosi yang terhimpit oleh keadaan, dan isu dari aktor-aktor dunia hiburan inilah yang selalu ditunggu untuk menjadi sasaran pembicaraan. Dari polemik sepak bola nasional, persiapan pesta demokrasi yang sekaligus berlangsungnya pilkada di daerah hingga kasus-kasus yang membelit para pekerja seni (juga termasuk para politisi dan atlet sepak bola) menjadi sajian tersendiri, hiburan disela kesibukan sehari-hari yang dapat kita tertawakan, kita cibir atau sekedar kita beri simpati tanpa mampu memberi solusi untuk memecahkan permasalahan yang ada, sebab kita tidak sedang bermain didalamnya, sebaliknya seringnya kita yang dipermainkan karena pasar harus segera terbentuk.
Kita, masyarakat, dibentuk oleh kebingungan lalu dijual, yang membeli adalah kita sendiri, sederhananya masyarakat kebanyakan adalah korban. Jika hal ini disangkal, lalu kenapa para pelaku tidak pernah bertindak atas nama kita, kita sebagai masyarakat yang terjerumus dalam ketidak berdayaan? Hanya kalau sempat saja mereka berbicara atas nama kita, bukan bertindak atas nama kita. Atau kita, hanya sekedar angka-angka yang sedang diperjudikan?.
Malam Jum'at dengan secangkir nikmat yang pekat, berharap dapat menemukan bangsa yang bermartabat, berdaulat dengan senyum hangat yang bersahabat. Cheers.
Rabu, 27 Februari 2013
Politik penyanderaan, dari realitas hingga kisah wayang
Politik penyanderaan, suatu istilah yang baru saya kenal, mungkin juga baru kita kenal atau hanya saya yang mengenal? Sebab saya dapati dari lamunan saya sendiri. Awalnya mendengar istilah ini dari teman-Pak Sholichul Hadi, ketika berkomentar tentang kasus Anas Urbaningrum.
Memang jadi suatu pertanyaan "kenapa Pak Anas baru buka-bukaan setelah ditetapkan sebagai tersangka? Kenapa tidak emarin-kemarin?" Atau bahkan bukan hanya Pak Anas, tapi memang inilah kebiasaan masyarakat Indonesia? Kebiasaan yang sulit ditinggalkan sebab orientasi hidup hanya "stop" pada urusan duniawi, hedon, pun dapat bermanfaat untuk membangun alibi saat kecurangan mulai tersentuh hukum.
Kasus penyanderaan biasanya dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk menuntut atau meminta dengan cara menahan seorang korban, menyembunyikan disertai dengan ancaman. Seperti film-film aksi, penyanderaan selalu dilakukan oleh para bandit untuk memeras atau menuntut pihak lain melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si bandit.
Kalau di film biasanya si bandit mati untuk mengakhiri film tersebut, korban penyanderaan biasanya bebas meskipun dengan penuh luka dan tuntutan bandit dapat digagalkan. Tapi itu film. Lain kalau sudah terjadi dalam kenyataan hidup, apalagi dalam dunia politik.
Dalam dunia politik biasanya korban penyanderaan~kalau korbannya ini manusia, akan tetap bebas, tidak sedang dalam belenggu. Pelakunya, banditnya sama saja seperti di film-film yaitu suka menebar ancaman, tidak terdapat kawan dan lawan yang abadi, semuanya serba kepentingan. Seperti juga yang terjadi akhir-akhir ini, dimana beberapa tokoh politik negeri ini mampu mempertahankan jabatannya dengan cara menyandera (mengancam) yang biasanya diawali dengan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, lalu masing-masing saling mengancam akan membuka aib masing-masing jika terdepak nantinya. Atau terjadi sebagaimana yang dikisahkan oleh lakon wayang "Banowati":
Pertentangan dua kubu, Pandawa dan Kurawa, semakin menghebat, keduanya semakin aktif membangun aliansi, laga bharatayudha semakin jelas terlihat didepan mata. Pada suatu kesempatan Sengkuni memberi petuah kepada Duryudana untuk merangkul kerajaan Mandaraka dibawah pemerintahan Prabu Salya dengan cara meminang salah satu putri dari Prabu Salya.
Sebelum Duryudana berangkat meminang salah satu putri Prabu Salya, terdengar kabar bahwa seorang putri Prabu Salya yang bernama Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri dan seorang lagi yang bernama Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Tinggal satu orang lagi yang bernama Banowati, dan hal ini membuat Duryudana ragu sebab Banowati adalah kekasih dari musuh bebuyutannya, Arjuna.
Tapi yang namanya politik tentunya harus menggelitik, keraguan harus disamarkan agar tidak terlihat lawan. Pinangan harus segera dilakukan, perang sudah akan dikobarkan. Berangkatlah Duryudana ke Mandaraka dan pinangannya diterima oleh Prabu Salya sebab seserahannya yang berlimpah ruah, akan tetapi Banowati menolak halus pinangan tersebut dengan mengajukan syarat bahwa ketika menjelang pernikahan, saat prosesi siraman harus dilakukan dengan dimandikan diruang tertutup dan yang memandikan adalah Arjuna.
Sebenarnya ini merupakan pukulan telak bagi Duryudana yang langsung tersinggung, tapi disampingnya adalah sengkuni yang licik dan mahir berkata-kata. Sengkuni kembali memberi petuah agar Duryudana tetap meminang Banowati demi kerajaan Hastina, Duryudana dibujuk dan dibakar nasionalismenya-tentunya dengan turut meniupkan kebencian terhadap kadang Pandawa.
Godaan kekuasaan menutupi kehormatan seorang raja, kekhawatiran nantinya Arjuna akan mendahului menikahi Banowati yang berarti lepasnya satu aliansi menjadi ancaman tersendiri, maka Duryudana harus tetap menikahi Banowati.
Setelah menikah, hati Banowati masihlah milik Arjuna, dikisahkan juga tentang perselingkuhan antara Arjuna dan Banowati hingga Banowati melahirkan seorang anak yang wajahnya mirip dengan Arjuna, atas hal ini para dewa mengabulkan permintaan Arjuna untuk menyelamatkan nasib anak dan kekasih gelapnya itu. Dikabulkan, bayi yang diberi nama Lesmana tersebut seketika berubah wujud jadi sosok yang lain, dan dewa-dewa turut menyembunyikan aib tokoh yang dipilihnya.
Dipihak lain, ada tokoh bernama Aswatama yang sebenarnya lakon hidupnya juga terpengaruh oleh kejadian-kejadian ini sebab tokoh ini juga mencintai Banowati dan memendam dendam baik terhadap Pandawa (khususnya Arjuna) dan Kurawa, tapi dia tidak masuk dalam maksud saya untuk menjelaskan "politik penyanderaan" ini. Cukuplah tentang cinta segitiga antara Banowati, Duryudana dan Arjuna yang bukan sekedar sebagai kisah pelengkap perseteruan, tapi sekaligus (ketiganya) adalah korban dari politik, aktor utamanya disini adalah Sengkuni, siapa lagi?.
Dari kisah diatas yang menjadi korban penyanderaan sebenarnya adalah Banowati yang nanti pada akhir kisahnya ia juga terbunuh, dibunuh oleh sang pemuja rahasia, Aswatama.
Memang jadi suatu pertanyaan "kenapa Pak Anas baru buka-bukaan setelah ditetapkan sebagai tersangka? Kenapa tidak emarin-kemarin?" Atau bahkan bukan hanya Pak Anas, tapi memang inilah kebiasaan masyarakat Indonesia? Kebiasaan yang sulit ditinggalkan sebab orientasi hidup hanya "stop" pada urusan duniawi, hedon, pun dapat bermanfaat untuk membangun alibi saat kecurangan mulai tersentuh hukum.
Kasus penyanderaan biasanya dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk menuntut atau meminta dengan cara menahan seorang korban, menyembunyikan disertai dengan ancaman. Seperti film-film aksi, penyanderaan selalu dilakukan oleh para bandit untuk memeras atau menuntut pihak lain melakukan sesuatu yang diinginkan oleh si bandit.
Kalau di film biasanya si bandit mati untuk mengakhiri film tersebut, korban penyanderaan biasanya bebas meskipun dengan penuh luka dan tuntutan bandit dapat digagalkan. Tapi itu film. Lain kalau sudah terjadi dalam kenyataan hidup, apalagi dalam dunia politik.
Dalam dunia politik biasanya korban penyanderaan~kalau korbannya ini manusia, akan tetap bebas, tidak sedang dalam belenggu. Pelakunya, banditnya sama saja seperti di film-film yaitu suka menebar ancaman, tidak terdapat kawan dan lawan yang abadi, semuanya serba kepentingan. Seperti juga yang terjadi akhir-akhir ini, dimana beberapa tokoh politik negeri ini mampu mempertahankan jabatannya dengan cara menyandera (mengancam) yang biasanya diawali dengan kecurangan yang dilakukan secara berjamaah, lalu masing-masing saling mengancam akan membuka aib masing-masing jika terdepak nantinya. Atau terjadi sebagaimana yang dikisahkan oleh lakon wayang "Banowati":
Pertentangan dua kubu, Pandawa dan Kurawa, semakin menghebat, keduanya semakin aktif membangun aliansi, laga bharatayudha semakin jelas terlihat didepan mata. Pada suatu kesempatan Sengkuni memberi petuah kepada Duryudana untuk merangkul kerajaan Mandaraka dibawah pemerintahan Prabu Salya dengan cara meminang salah satu putri dari Prabu Salya.
Sebelum Duryudana berangkat meminang salah satu putri Prabu Salya, terdengar kabar bahwa seorang putri Prabu Salya yang bernama Erawati diculik oleh Baladewa untuk diperistri dan seorang lagi yang bernama Surthikanti dilarikan Karna untuk maksud yang sama. Tinggal satu orang lagi yang bernama Banowati, dan hal ini membuat Duryudana ragu sebab Banowati adalah kekasih dari musuh bebuyutannya, Arjuna.
Tapi yang namanya politik tentunya harus menggelitik, keraguan harus disamarkan agar tidak terlihat lawan. Pinangan harus segera dilakukan, perang sudah akan dikobarkan. Berangkatlah Duryudana ke Mandaraka dan pinangannya diterima oleh Prabu Salya sebab seserahannya yang berlimpah ruah, akan tetapi Banowati menolak halus pinangan tersebut dengan mengajukan syarat bahwa ketika menjelang pernikahan, saat prosesi siraman harus dilakukan dengan dimandikan diruang tertutup dan yang memandikan adalah Arjuna.
Sebenarnya ini merupakan pukulan telak bagi Duryudana yang langsung tersinggung, tapi disampingnya adalah sengkuni yang licik dan mahir berkata-kata. Sengkuni kembali memberi petuah agar Duryudana tetap meminang Banowati demi kerajaan Hastina, Duryudana dibujuk dan dibakar nasionalismenya-tentunya dengan turut meniupkan kebencian terhadap kadang Pandawa.
Godaan kekuasaan menutupi kehormatan seorang raja, kekhawatiran nantinya Arjuna akan mendahului menikahi Banowati yang berarti lepasnya satu aliansi menjadi ancaman tersendiri, maka Duryudana harus tetap menikahi Banowati.
Setelah menikah, hati Banowati masihlah milik Arjuna, dikisahkan juga tentang perselingkuhan antara Arjuna dan Banowati hingga Banowati melahirkan seorang anak yang wajahnya mirip dengan Arjuna, atas hal ini para dewa mengabulkan permintaan Arjuna untuk menyelamatkan nasib anak dan kekasih gelapnya itu. Dikabulkan, bayi yang diberi nama Lesmana tersebut seketika berubah wujud jadi sosok yang lain, dan dewa-dewa turut menyembunyikan aib tokoh yang dipilihnya.
Dipihak lain, ada tokoh bernama Aswatama yang sebenarnya lakon hidupnya juga terpengaruh oleh kejadian-kejadian ini sebab tokoh ini juga mencintai Banowati dan memendam dendam baik terhadap Pandawa (khususnya Arjuna) dan Kurawa, tapi dia tidak masuk dalam maksud saya untuk menjelaskan "politik penyanderaan" ini. Cukuplah tentang cinta segitiga antara Banowati, Duryudana dan Arjuna yang bukan sekedar sebagai kisah pelengkap perseteruan, tapi sekaligus (ketiganya) adalah korban dari politik, aktor utamanya disini adalah Sengkuni, siapa lagi?.
Dari kisah diatas yang menjadi korban penyanderaan sebenarnya adalah Banowati yang nanti pada akhir kisahnya ia juga terbunuh, dibunuh oleh sang pemuja rahasia, Aswatama.
Selasa, 26 Februari 2013
Gagasan tentang suatu kebangsaan
Hampir dua bulan dalam pencarian Indonesia, semakin dalam dikenal semakin buram gambaran tentang suatu bangsa. Dibawah mendung yang menghitam dan bayang-bayang ancaman badai yang (mungkin) menyebabkan sinyal modem tidak begitu bersahabat, meskipun bukan suatu penghambat, tapi cukup mempersulit sekedar untuk membuka blog.
Sempat juga terpikir jika nasib bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan suku Indian di Amerika sana, tergusur dan punah akibat keganasan pioner Amerika yang serakah, dan bangsa pendatang ini saat ini malah sedang larut dalam kebanggaan nasionalisme diatas tanah jajahannya. Tapi saya pikir lagi bangsa Indonesia tidaklah separah pengalaman suku-suku Indian tersebut, orang Indonesia masih berkembang biak, berlahiran meskipun hidup dalam penindasan sekalipun, sedangkan suku-suku Indian sepanjang yang saya baca menjumpai kepunahan setelah berjuang habis-habisan melawan bangsa pendatang.
Saya bicarakan tentang suku Indian, bukan masalah rasnya, kalau ras, sebagaimana dari pelajaran antropologi, suku Indian ini punya ras yaitu mongoloid. Ras mongoloid diambil dari istilah "Mongolia" suatu bangsa yang juga pernah berjaya dimasanya, bahkan pernah bikin gempar dengan penaklukkannya terhadap Baghdad. Ras mongoloid terdiri atas tiga sub-ras: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang dan Korea), Malayan Mongoloid (Melayu), dan American Mongoloid (suku Indian). Jadi kalau dilihat dari ras, maka sebenarnya suku Indian tidak sedang punah, ras mongoloid di Asia dapat dikatakan lebih berhasil menghadang kehadiran kolonialisme Eropa dibandingkan dengan ras mongoloid yang ada di Amerika.
Di Indonesia sendiri, dalam masalah sejarah penyebaran ras melayu (sub-ras mongoloid) dan belum bernama Indonesia sebenarnya telah ada-terdapat suku-suku asli, suku Wedoid dan Negrito, dua suku ini kemudian terdesak oleh kedatangan bangsa Melayu Austronesia ke Indonesia dan melarikan diri ke tempat-tempat asing untuk mengisolasi diri. Dan saya tidak ingin membahas ini, masalah pesebaran ras selalu membuat saya pusing sejak duduk dibangku SMU dulu.
Saya pikir lebih baik membaca Indonesia sejak jamannya Majapahit saja, itupun masih sering bikin pusing kepala saya. Atau lebih baik sejak masyarakat nusantara menyatakan diri sebagai satu bangsa, sejak terjadinya "Sumpah Pemuda" saja sebab lebih dekat dengan kesepakatan luhur dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Lewat sumpah pemuda tersebut maka diharapkan lenyaplah batas-batas suku dan etnic yang ada untuk larut dalam satu kebangsaan Indonesia, termasuk juga dengan batas-batas ras. Lahirlah satu bangsa yang memiliki cita-cita dan nasib yang sama, Indonesia. Momentum ini pun ditanggapi bertahun-tahun kemudian dengan lahirnya rumusan pancasila sebagai kesepakatan luhur, kesepakatan untuk memperjelas arah suatu bangsa yang merdeka, kesepakatan akan cita-cita; gagasan tentang bangunan kemasyarakat yang diharapkan, masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, masyarakat yang berkemanusiaan yang adil dan beradab.
Barulah dengan momentum proklamasi 17 Agustus 1945 gagasan tersebut menemukan jalan yang lebih terbuka untuk diperjuangkan, tentu diperjuangkan, tidak hanya diperjuangkan dibawah ancaman senjata-senjata kolonial yang mencoba kembali berkuasa di tanah air ini, tapi juga diperjuangkan dengan membangun mentalitas dan karakter masyarakatnya.
Memang, diyakini bahwa pancasila terlahir dari kepribadian bangsa Indonesia tapi masih ada kemungkinan jika hal tersebut hanya disadari oleh beberapa orang saja, tentunya oleh orang yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi dari kebanyakan orang yang ada. Atau istilahnya para teknokrat saja yang menyadarinya.
Maka dengan alasan seperti itulah (mungkin) yang membuat dua regim awal mengambil tindakan untuk melakukan penafsiran tunggal terhadap pancasila, orla dengan demokrasi terpimpinnya dan orba dengan P4 nya. Meskipun demikian orde lama masih lebih baik untuk masalah ini, yaitu dengan usahanya menyetabilkan komponen masyarakat yang ada dan berpengaruh besar waktu itu: komunis, nasionalis dan agama lewat konsepsi NASAKOM nya Ir. Soekarno. Sedang pada masa orba, malah lebih terkesan "Jawaisme" daripada pancasila. Dan keduanya, baik orba dan orla bisa dikatakan gagal mewujudkan kestabilan, orba pernah saya baca dikatakan berhasil dalam mewujudkan kestabilan politik, tapi menurut saya tidak seperti itu sebab yang terjadi adalah ketimpangan. Bagaimana mungkin dikatakan stabil jika hanya menciptakan kemapanan bagi salah satu kelompok dan menindas kelompok yang lain? Konsekuensinya pun masih dapat dirasakan hingga saya tulis ini.
Dan sudah sepatutnya kita sebagai satu bangsa menolak atas penafsiran tunggal terhadap kesepakatan luhur tersebut, penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan mewujudkan tirani, pancasila harus ditafsirkan secara kreatif dengan membuka peluang-peluang dialogis antar generasi, membangun kesadaran berbangsa yang tidak hanya dimonopoli oleh kalangan teknokrat saja.
Sempat juga terpikir jika nasib bangsa Indonesia tidak jauh beda dengan suku Indian di Amerika sana, tergusur dan punah akibat keganasan pioner Amerika yang serakah, dan bangsa pendatang ini saat ini malah sedang larut dalam kebanggaan nasionalisme diatas tanah jajahannya. Tapi saya pikir lagi bangsa Indonesia tidaklah separah pengalaman suku-suku Indian tersebut, orang Indonesia masih berkembang biak, berlahiran meskipun hidup dalam penindasan sekalipun, sedangkan suku-suku Indian sepanjang yang saya baca menjumpai kepunahan setelah berjuang habis-habisan melawan bangsa pendatang.
Saya bicarakan tentang suku Indian, bukan masalah rasnya, kalau ras, sebagaimana dari pelajaran antropologi, suku Indian ini punya ras yaitu mongoloid. Ras mongoloid diambil dari istilah "Mongolia" suatu bangsa yang juga pernah berjaya dimasanya, bahkan pernah bikin gempar dengan penaklukkannya terhadap Baghdad. Ras mongoloid terdiri atas tiga sub-ras: Asiatik Mongoloid (Cina, Jepang dan Korea), Malayan Mongoloid (Melayu), dan American Mongoloid (suku Indian). Jadi kalau dilihat dari ras, maka sebenarnya suku Indian tidak sedang punah, ras mongoloid di Asia dapat dikatakan lebih berhasil menghadang kehadiran kolonialisme Eropa dibandingkan dengan ras mongoloid yang ada di Amerika.
Di Indonesia sendiri, dalam masalah sejarah penyebaran ras melayu (sub-ras mongoloid) dan belum bernama Indonesia sebenarnya telah ada-terdapat suku-suku asli, suku Wedoid dan Negrito, dua suku ini kemudian terdesak oleh kedatangan bangsa Melayu Austronesia ke Indonesia dan melarikan diri ke tempat-tempat asing untuk mengisolasi diri. Dan saya tidak ingin membahas ini, masalah pesebaran ras selalu membuat saya pusing sejak duduk dibangku SMU dulu.
Saya pikir lebih baik membaca Indonesia sejak jamannya Majapahit saja, itupun masih sering bikin pusing kepala saya. Atau lebih baik sejak masyarakat nusantara menyatakan diri sebagai satu bangsa, sejak terjadinya "Sumpah Pemuda" saja sebab lebih dekat dengan kesepakatan luhur dalam membentuk suatu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
Lewat sumpah pemuda tersebut maka diharapkan lenyaplah batas-batas suku dan etnic yang ada untuk larut dalam satu kebangsaan Indonesia, termasuk juga dengan batas-batas ras. Lahirlah satu bangsa yang memiliki cita-cita dan nasib yang sama, Indonesia. Momentum ini pun ditanggapi bertahun-tahun kemudian dengan lahirnya rumusan pancasila sebagai kesepakatan luhur, kesepakatan untuk memperjelas arah suatu bangsa yang merdeka, kesepakatan akan cita-cita; gagasan tentang bangunan kemasyarakat yang diharapkan, masyarakat yang berkeTuhanan Yang Maha Esa, masyarakat yang berkemanusiaan yang adil dan beradab.
Barulah dengan momentum proklamasi 17 Agustus 1945 gagasan tersebut menemukan jalan yang lebih terbuka untuk diperjuangkan, tentu diperjuangkan, tidak hanya diperjuangkan dibawah ancaman senjata-senjata kolonial yang mencoba kembali berkuasa di tanah air ini, tapi juga diperjuangkan dengan membangun mentalitas dan karakter masyarakatnya.
Memang, diyakini bahwa pancasila terlahir dari kepribadian bangsa Indonesia tapi masih ada kemungkinan jika hal tersebut hanya disadari oleh beberapa orang saja, tentunya oleh orang yang memiliki kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi dari kebanyakan orang yang ada. Atau istilahnya para teknokrat saja yang menyadarinya.
Maka dengan alasan seperti itulah (mungkin) yang membuat dua regim awal mengambil tindakan untuk melakukan penafsiran tunggal terhadap pancasila, orla dengan demokrasi terpimpinnya dan orba dengan P4 nya. Meskipun demikian orde lama masih lebih baik untuk masalah ini, yaitu dengan usahanya menyetabilkan komponen masyarakat yang ada dan berpengaruh besar waktu itu: komunis, nasionalis dan agama lewat konsepsi NASAKOM nya Ir. Soekarno. Sedang pada masa orba, malah lebih terkesan "Jawaisme" daripada pancasila. Dan keduanya, baik orba dan orla bisa dikatakan gagal mewujudkan kestabilan, orba pernah saya baca dikatakan berhasil dalam mewujudkan kestabilan politik, tapi menurut saya tidak seperti itu sebab yang terjadi adalah ketimpangan. Bagaimana mungkin dikatakan stabil jika hanya menciptakan kemapanan bagi salah satu kelompok dan menindas kelompok yang lain? Konsekuensinya pun masih dapat dirasakan hingga saya tulis ini.
Dan sudah sepatutnya kita sebagai satu bangsa menolak atas penafsiran tunggal terhadap kesepakatan luhur tersebut, penafsiran tunggal terhadap pancasila hanya akan mewujudkan tirani, pancasila harus ditafsirkan secara kreatif dengan membuka peluang-peluang dialogis antar generasi, membangun kesadaran berbangsa yang tidak hanya dimonopoli oleh kalangan teknokrat saja.
Senin, 25 Februari 2013
Budaya dan pendidikan (IV)
Setelah saya menerbitkan judul "Budaya dan pendidikan (III)" saya beberapa kali menerima pesan lewan SMS, nomor-nomornya pun tidak saya kenal, dari pesan tersebut menanyakan hubungan antara kepekaan sosial dan pendidikan.
Memang pada bagian (I) dan (II) pembahasannya seputar teknologi dan pendidikan dan keduanya adalah unsur dari budaya, hal ini berdasarkan rumusan tujuh unsur budaya Koenjaraningrat. Pada bagian ketiganya saya malah membahas tentang kepekaan sosial yang saya awali dari trilogi pendidikannya Ki Hajar Dewantara. Bukan tanpa alasan, budaya dan moral akan selalu bersamaan, budaya akan turut menyertakan nilai-nilai moralnya, dan bicara tentang moral sudah pasti akan juga membicarakan tentang kemanusiaan, moral itu adalah kemanusiaan itu sendiri dengan begitu kepekaan sosial adalah penting disini.
Kepekaan sosial yang saya maksudkan adalah bukan sekedar membangun watak welas asih tapi juga tanggung jawab dan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Selain juga untuk menanamkan kedisiplinan lewat suatu kebiasaan bukan lewat ketakutan. Dengan begitu kepekaan sosial juga mampu memperkuat sanksi sosial yang ada, ini penting. Sebab tanpa adanya kepekaan sosial orang akan cenderung apatis dan masa bodoh, dan jika itu terjadi maka peraturan hanya akan menjadi sekedar peraturan tanpa sanksi. Singkatnya orang akan menganggap peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, tidak disiplin karena hanya akan taat ketika ada yang mengawasi. Dan semua ini masih dalam bahasan budaya.
Menumbuhkan kepekaan sosial adalah sangat sederhana, bahkan mungkin tanpa perlu menggunakan teknologi atau retorika yang biasa kita sebut "seruan moral". Akan saling terkait pula dengan kepedulian lingkungan, kebersihan misalnya, kebiasaan masyarakat kita akan hal ini masih cukup rendah, kita akan dapat dengan mudah menemui sampah berserakkan di jalan-jalan dan di sekolah, bahkan pada lokasi yang kita sebut taman. Aturan dan peringatannya sudah cukup jelas "buanglah sampah pada tempatnya" tapi apalah gunanya kalau kita sendiri tidak peduli? Hormatilah pejalan kaki, dimana terdapat wilayah-wilayah milik para pejalan kaki yang sepertinya saat ini para pejalan kaki harus juga berkompetisi dengan kendaraan-kendaraan dan para penjual di wilayah-wilayah tersebut, ini terjadi karena tidak adanya kedisiplinan dan lebih karena kita-kita juga yang tidak mau peduli hingga menelantarkan kemanusiaan, keselamatan orang lain, hak orang lain.
Kepedulian sosial dapat ditumbuhkan dengan keteladanan, misalnya~anggap saja pada kondisi lingkungan dimana didalamnya juga terdapat aturan-aturan tentang segala hal yang dibutuhkan oleh lingkungan tersebut, termasuk juga dengan kedisiplinan dan sudah pasti segala peraturan yang ada adalah untuk menjamin kedisiplinan, menumbuhkan kedisiplinan anggota lingkungan tersebut. Peraturan seperti itu sudah pasti juga menyertakan sanksi bagi pelanggarnya, seperti "point" dalam setiap pelanggaran di sekolah oleh para siswanya. Lalu pada suatu ketika keberadaan sanksi yang ada tidak diindahkan oleh anggota lingkungan tersebut karena para anggota akan taat ketika sedang dalam pengawasan saja, apalagi diluar lingungan. Hal seperti ini akan jadi tambah berbahaya ketika menjangkiti lingkungan yang disebut trilogi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara: keluarga, sekolah dan masyarakat. Apalagi ketika masyarakat tidak lagi memiliki kepedulian, sanksi sosial tidak berlaku dan cenderung mewajarkan situasi-situasi yang penuh dengan kecurangan.
Kalau keadaan semacam itu ada berlaku dalam suatu lingkungan sekolah maka habislah modal sosial sekolah tersebut alias tamatlah riwayatnya sebagai salah satu komponen trilogi pendidikan. Keteladanan penting sebab dalam kondisi sebagaimana diatas peraturan hanya jadi sekedar tulisan, dibuat hanya untuk dilanggar, tindakan paling efektif untuk menganulir adalah dengan memberi keteladanan bagi yang lain, apalagi yang dapat dilakukan jika sanksi tidak berlaku selain mencontohkan keseharusan? Sebagaimana seorang guru tidak perlu lagi segan untuk memungut sampah di dalam kelas saat dia mengajar, itu adalah keteladanan, tidak perlu marah-marah sekedar untuk memperlihatkan kejengkelan. Sebenarnya hal ini saya dapati ketika menjumpai kondisi suatu lingkungan dimana peraturan ada tanpa sanksi dan lebih parah lagi dimana sanksi sosial ternyata juga sedang tidak berlaku.
Gambaran sederhananya, budaya turut menyertakan moral, moral adalah juga kemanusiaan dan dari sanalah terbit juga sanksi sosial lewat peraturan-peraturan yang tidak tertulis, norma, sanksi sosial ada karena kebiasaan dan kesadaran sebagai manusia. Kesadaran akan kemanusiaan selalu muncul sebab adanya kepekaan terutama sekali kepekaan sosial. Kepekaan sosial tidak dapat muncul begitu saja sebab ia harus dibiasakan, tentunya lewat pendidikan. Lingkungan yang menjadi komponen utama penggerak pendidikan adalah sebagaimana yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara lewat trilogi pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat.
Memang pada bagian (I) dan (II) pembahasannya seputar teknologi dan pendidikan dan keduanya adalah unsur dari budaya, hal ini berdasarkan rumusan tujuh unsur budaya Koenjaraningrat. Pada bagian ketiganya saya malah membahas tentang kepekaan sosial yang saya awali dari trilogi pendidikannya Ki Hajar Dewantara. Bukan tanpa alasan, budaya dan moral akan selalu bersamaan, budaya akan turut menyertakan nilai-nilai moralnya, dan bicara tentang moral sudah pasti akan juga membicarakan tentang kemanusiaan, moral itu adalah kemanusiaan itu sendiri dengan begitu kepekaan sosial adalah penting disini.
Kepekaan sosial yang saya maksudkan adalah bukan sekedar membangun watak welas asih tapi juga tanggung jawab dan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Selain juga untuk menanamkan kedisiplinan lewat suatu kebiasaan bukan lewat ketakutan. Dengan begitu kepekaan sosial juga mampu memperkuat sanksi sosial yang ada, ini penting. Sebab tanpa adanya kepekaan sosial orang akan cenderung apatis dan masa bodoh, dan jika itu terjadi maka peraturan hanya akan menjadi sekedar peraturan tanpa sanksi. Singkatnya orang akan menganggap peraturan dibuat hanya untuk dilanggar, tidak disiplin karena hanya akan taat ketika ada yang mengawasi. Dan semua ini masih dalam bahasan budaya.
Menumbuhkan kepekaan sosial adalah sangat sederhana, bahkan mungkin tanpa perlu menggunakan teknologi atau retorika yang biasa kita sebut "seruan moral". Akan saling terkait pula dengan kepedulian lingkungan, kebersihan misalnya, kebiasaan masyarakat kita akan hal ini masih cukup rendah, kita akan dapat dengan mudah menemui sampah berserakkan di jalan-jalan dan di sekolah, bahkan pada lokasi yang kita sebut taman. Aturan dan peringatannya sudah cukup jelas "buanglah sampah pada tempatnya" tapi apalah gunanya kalau kita sendiri tidak peduli? Hormatilah pejalan kaki, dimana terdapat wilayah-wilayah milik para pejalan kaki yang sepertinya saat ini para pejalan kaki harus juga berkompetisi dengan kendaraan-kendaraan dan para penjual di wilayah-wilayah tersebut, ini terjadi karena tidak adanya kedisiplinan dan lebih karena kita-kita juga yang tidak mau peduli hingga menelantarkan kemanusiaan, keselamatan orang lain, hak orang lain.
Kepedulian sosial dapat ditumbuhkan dengan keteladanan, misalnya~anggap saja pada kondisi lingkungan dimana didalamnya juga terdapat aturan-aturan tentang segala hal yang dibutuhkan oleh lingkungan tersebut, termasuk juga dengan kedisiplinan dan sudah pasti segala peraturan yang ada adalah untuk menjamin kedisiplinan, menumbuhkan kedisiplinan anggota lingkungan tersebut. Peraturan seperti itu sudah pasti juga menyertakan sanksi bagi pelanggarnya, seperti "point" dalam setiap pelanggaran di sekolah oleh para siswanya. Lalu pada suatu ketika keberadaan sanksi yang ada tidak diindahkan oleh anggota lingkungan tersebut karena para anggota akan taat ketika sedang dalam pengawasan saja, apalagi diluar lingungan. Hal seperti ini akan jadi tambah berbahaya ketika menjangkiti lingkungan yang disebut trilogi pendidikan oleh Ki Hajar Dewantara: keluarga, sekolah dan masyarakat. Apalagi ketika masyarakat tidak lagi memiliki kepedulian, sanksi sosial tidak berlaku dan cenderung mewajarkan situasi-situasi yang penuh dengan kecurangan.
Kalau keadaan semacam itu ada berlaku dalam suatu lingkungan sekolah maka habislah modal sosial sekolah tersebut alias tamatlah riwayatnya sebagai salah satu komponen trilogi pendidikan. Keteladanan penting sebab dalam kondisi sebagaimana diatas peraturan hanya jadi sekedar tulisan, dibuat hanya untuk dilanggar, tindakan paling efektif untuk menganulir adalah dengan memberi keteladanan bagi yang lain, apalagi yang dapat dilakukan jika sanksi tidak berlaku selain mencontohkan keseharusan? Sebagaimana seorang guru tidak perlu lagi segan untuk memungut sampah di dalam kelas saat dia mengajar, itu adalah keteladanan, tidak perlu marah-marah sekedar untuk memperlihatkan kejengkelan. Sebenarnya hal ini saya dapati ketika menjumpai kondisi suatu lingkungan dimana peraturan ada tanpa sanksi dan lebih parah lagi dimana sanksi sosial ternyata juga sedang tidak berlaku.
Gambaran sederhananya, budaya turut menyertakan moral, moral adalah juga kemanusiaan dan dari sanalah terbit juga sanksi sosial lewat peraturan-peraturan yang tidak tertulis, norma, sanksi sosial ada karena kebiasaan dan kesadaran sebagai manusia. Kesadaran akan kemanusiaan selalu muncul sebab adanya kepekaan terutama sekali kepekaan sosial. Kepekaan sosial tidak dapat muncul begitu saja sebab ia harus dibiasakan, tentunya lewat pendidikan. Lingkungan yang menjadi komponen utama penggerak pendidikan adalah sebagaimana yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara lewat trilogi pendidikan: keluarga, sekolah dan masyarakat.
Minggu, 24 Februari 2013
Realitas politik nusantara
Kemarin cepat-cepat pulang soalnya mau nonton pidatonya Pak Anas Urbaningrum setelah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Sambil tiduran saya ndengerin dari awal sampai akhir, juga dengan pemberitaan setelah-setelahnya. Entah bagaimanapun tanggapan orang tentang hal ini, saya menanggapi dengan sudut pandang saya sendiri bahwa orang politik bicaranya selalu saja "multi tafsir".
Bukan hanya cara bicara orang politik yang "multi tafsir" dengan pemilihan kata-kata yang terkadang mengancam, mendukung dan menolak yang sepertinya ketiga hal tersebut dapat pula ada-bersamaan dalam satu pernyataan, juga dengan sikap dan tingkah lakunya, seperti ketika Pak Peni Suparto "menyeberang" ke partai yang menurut saya sebelumnya adalah seteru dari partai yang ia naungi, dalam kesempatan itu~waktu melamar ke partai tersebut ia masih mengenakan kemeja merah partai sebelumnya. Sebagaimana yang diketahui sebelum melamar ke partai tersebut Pak Peni dipecat dari keanggotaan partainya.
Atau ketika tiba-tiba saja para pengusaha turut bersaing dalam dunia politik yang pada akhirnya dari sudut pandang saya partai politik lebih mirip entertain club sepak bola, dimana pelatih, pemain hingga manajernya dapat saling berpindah tergantung besarnya modal dan kenekatannya. Tidak begitu dimengerti, apakah tindakan-tindakan ini merupakan upaya cari selamat atau cari keuntungan atau keduanya, mengingat beberapa pengusaha juga ada yang bermasalah.
Kembali pada pernyataan Pak Anas, sebenarnya ada beberapa hal yang menarik dalam pernyataannya kemarin, sebelumnya saya pikir beliau tidak akan menepati janji, tapi kemarin Pak Anas dengan pernyataannya telah menepatinya, entah karena apa, disini saya hanya dapat mengikuti dari media massa sembari menebak-nebak.
Berikut penggalan-penggalan pernyataan Pak Anas yang menurut saya cukup menarik:
"Sejak awal saya punya keyakinan penuh tentang tuduhan-tuduhan yang tak berdasar itu. Saya meyakini kebenaran dan keadilan pangkatnya lebih tinggi dari fitnah dan rekayasa. Kebenaran dan keadilan akan muncul-menang dari rekayasa sehebat dan serapi rekayasa itu dibangun. Itu keyakinan saya."
.............................. .............................. ............
"Apalagi saya tahu petinggi partai Demokrat yakin betul, haqul yaqin, Anas jadi tersangka. Rangkaian ini pasti tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dikatakan bocornya sprindik. Ini satu rangkaian pristiwa yang utuh tak bisa dipisahkan, terkait sangat erat. Itulah faktanya. Tidak butuh pencermatan yang terlalu canggih untuk mengetahuinya.
Kalau mau ditarik agak jauh ke belakang, sesungguhnya ini pasti terkait dengan kongres Partai Demokrat. Saya tidak ingin cerita lebih panjang, pada waktunya saya akan cerita. Intinya Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan. Tentu rangkaiannya menjadi panjang. Itu saya alami menjadi peristiwa politik dan organisasi Partai Demokrat. Pada titik ini saya belum sampaikan secara rinci, tetap ada kontek yang jelas menyangkut rangkaian peristiwa-peristiwa politik itu."
.............................. .............................. ............
"Saya juga berharap, siapapun yang nanti jadi Ketua Umum Demokrat, bisa menunaikan tugas, bahkan jauh lebih baik dengan apa yang saya tunaikan bersama teman-teman pengurus selama ini. Pasti akan datang ketum yang lebih baik. Saya percaya karena sejarah selalu melahirkan pemimpin pada waktunya.
Apa yang akan saya lakukan ke depan adalah tetap dalam rangka memberi kontribusi dan menjaga momentum bagi perbaikan dan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, apapun kondisi dan keadaan saya. Yang penting adalah saya akan tetap bersama-sama dalam sebuah ikhtiar untuk membuat Indonesia semakin bagus.
Di hari-hari ke depan akan diuji pula etika Partai Demokrat. Etikanya yang bersih cerdas dan santun. Akan diuji oleh sejarah apakah bersih atau tidak, bersih atau korup. Akan diuji partai yang cerdas memberi gagasan bangsa. Apakah Demokrat ini santun atau sadis, politik santun atau sadisme politik.
Yang paling penting, tidak ada kemarahan dan kebencian. Keduanya jauh dari rumus politik yang saya anut. Mudah-mudahan dianut juga oleh kader-kader Partai Demokrat.
Ada yang berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Hari ini saya nyatakan, ini baru permulaan. Ini baru sebuah awal langkah-langkah besar. Ini baru halaman pertama. Masih banyak hal lainnya yang kita buka bersama untuk kebaikan bersama."
.............................. .............................. ..........
Kembali lagi, bagaimanapun pandangan dan pendapat orang tentang pernyataan Pak Anas ini adalah sah, begitupun dari sudut pandang saya yang sementara ini memunculkan garis-garis peta untuk menebak segala yang sedang berlangsung dan segala yang akan terjadi nantinya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Anas tentang sadisme politik, saya yakin, haqul yaqin, hal ini akan menjadi tema penting Indonesia kedepan. Dari pengertiannya, sadisme adalah kondisi yang dialami seseorang, secara sederhana adalah kondisi yang menyenangkan dari seseorang mendapati penderitaan orang lain. Inilah yang menurut saya kini lebih menarik daripada yang lainnya. Sadisme politik.
Politik, berbicara mengenai kepentingan, kekuasaan dan peluang secara bersamaan, dalam sosiologi politik dibicarakan tentang bagaimana menyerap dan mengorganisasikan kepentingan-kepentingan tersebut untuk kemudian diarahkan kepada peluang-peluang yang ada. Lalu dengan sadisme politik, berarti menyangkut kondisi kejiwaan seseorang, bisa jadi pengorganisasian dan upaya-upaya meraih peluang tersebut adalah sekedar kepuasan orang-seorang dan penderitaan bagi banyak orang. Bisa jadi seperti itu, atau sekedar tentang hedonisme seseorang, dan yang patut diingat adalah pola politik semacam ini tidak hanya ada terdapat pada gelanggang politik nasional tapi lebih kebawah ke dalam organisasi-organisasi dalam masyarakat juga terdapat yang demikian itu, sadisme politik.
Tapi mau bagaimanapun semua itu juga tergantung dari latar belakangnya, sadisme politik bisa saja muncul karena adanya 'status quo' dengan orang-orang yang merasa nyaman didalamnya, atau bisa juga karena adanya upaya untuk menutup-nutupi kecurangan atau sekedar kesalahan yang pernah atau sedang terjadi, mengingat juga terdapat peran "kresna dan Sengkuni" dalam tiap laga politik tanah pertiwi. Atau memang inilah kenyataan dibalik wajah kesantunan bangsa ini?
Bukan hanya cara bicara orang politik yang "multi tafsir" dengan pemilihan kata-kata yang terkadang mengancam, mendukung dan menolak yang sepertinya ketiga hal tersebut dapat pula ada-bersamaan dalam satu pernyataan, juga dengan sikap dan tingkah lakunya, seperti ketika Pak Peni Suparto "menyeberang" ke partai yang menurut saya sebelumnya adalah seteru dari partai yang ia naungi, dalam kesempatan itu~waktu melamar ke partai tersebut ia masih mengenakan kemeja merah partai sebelumnya. Sebagaimana yang diketahui sebelum melamar ke partai tersebut Pak Peni dipecat dari keanggotaan partainya.
Atau ketika tiba-tiba saja para pengusaha turut bersaing dalam dunia politik yang pada akhirnya dari sudut pandang saya partai politik lebih mirip entertain club sepak bola, dimana pelatih, pemain hingga manajernya dapat saling berpindah tergantung besarnya modal dan kenekatannya. Tidak begitu dimengerti, apakah tindakan-tindakan ini merupakan upaya cari selamat atau cari keuntungan atau keduanya, mengingat beberapa pengusaha juga ada yang bermasalah.
Kembali pada pernyataan Pak Anas, sebenarnya ada beberapa hal yang menarik dalam pernyataannya kemarin, sebelumnya saya pikir beliau tidak akan menepati janji, tapi kemarin Pak Anas dengan pernyataannya telah menepatinya, entah karena apa, disini saya hanya dapat mengikuti dari media massa sembari menebak-nebak.
Berikut penggalan-penggalan pernyataan Pak Anas yang menurut saya cukup menarik:
"Sejak awal saya punya keyakinan penuh tentang tuduhan-tuduhan yang tak berdasar itu. Saya meyakini kebenaran dan keadilan pangkatnya lebih tinggi dari fitnah dan rekayasa. Kebenaran dan keadilan akan muncul-menang dari rekayasa sehebat dan serapi rekayasa itu dibangun. Itu keyakinan saya."
..............................
"Apalagi saya tahu petinggi partai Demokrat yakin betul, haqul yaqin, Anas jadi tersangka. Rangkaian ini pasti tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dikatakan bocornya sprindik. Ini satu rangkaian pristiwa yang utuh tak bisa dipisahkan, terkait sangat erat. Itulah faktanya. Tidak butuh pencermatan yang terlalu canggih untuk mengetahuinya.
Kalau mau ditarik agak jauh ke belakang, sesungguhnya ini pasti terkait dengan kongres Partai Demokrat. Saya tidak ingin cerita lebih panjang, pada waktunya saya akan cerita. Intinya Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan. Tentu rangkaiannya menjadi panjang. Itu saya alami menjadi peristiwa politik dan organisasi Partai Demokrat. Pada titik ini saya belum sampaikan secara rinci, tetap ada kontek yang jelas menyangkut rangkaian peristiwa-peristiwa politik itu."
..............................
"Saya juga berharap, siapapun yang nanti jadi Ketua Umum Demokrat, bisa menunaikan tugas, bahkan jauh lebih baik dengan apa yang saya tunaikan bersama teman-teman pengurus selama ini. Pasti akan datang ketum yang lebih baik. Saya percaya karena sejarah selalu melahirkan pemimpin pada waktunya.
Apa yang akan saya lakukan ke depan adalah tetap dalam rangka memberi kontribusi dan menjaga momentum bagi perbaikan dan peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia, apapun kondisi dan keadaan saya. Yang penting adalah saya akan tetap bersama-sama dalam sebuah ikhtiar untuk membuat Indonesia semakin bagus.
Di hari-hari ke depan akan diuji pula etika Partai Demokrat. Etikanya yang bersih cerdas dan santun. Akan diuji oleh sejarah apakah bersih atau tidak, bersih atau korup. Akan diuji partai yang cerdas memberi gagasan bangsa. Apakah Demokrat ini santun atau sadis, politik santun atau sadisme politik.
Yang paling penting, tidak ada kemarahan dan kebencian. Keduanya jauh dari rumus politik yang saya anut. Mudah-mudahan dianut juga oleh kader-kader Partai Demokrat.
Ada yang berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Hari ini saya nyatakan, ini baru permulaan. Ini baru sebuah awal langkah-langkah besar. Ini baru halaman pertama. Masih banyak hal lainnya yang kita buka bersama untuk kebaikan bersama."
..............................
Kembali lagi, bagaimanapun pandangan dan pendapat orang tentang pernyataan Pak Anas ini adalah sah, begitupun dari sudut pandang saya yang sementara ini memunculkan garis-garis peta untuk menebak segala yang sedang berlangsung dan segala yang akan terjadi nantinya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pak Anas tentang sadisme politik, saya yakin, haqul yaqin, hal ini akan menjadi tema penting Indonesia kedepan. Dari pengertiannya, sadisme adalah kondisi yang dialami seseorang, secara sederhana adalah kondisi yang menyenangkan dari seseorang mendapati penderitaan orang lain. Inilah yang menurut saya kini lebih menarik daripada yang lainnya. Sadisme politik.
Politik, berbicara mengenai kepentingan, kekuasaan dan peluang secara bersamaan, dalam sosiologi politik dibicarakan tentang bagaimana menyerap dan mengorganisasikan kepentingan-kepentingan tersebut untuk kemudian diarahkan kepada peluang-peluang yang ada. Lalu dengan sadisme politik, berarti menyangkut kondisi kejiwaan seseorang, bisa jadi pengorganisasian dan upaya-upaya meraih peluang tersebut adalah sekedar kepuasan orang-seorang dan penderitaan bagi banyak orang. Bisa jadi seperti itu, atau sekedar tentang hedonisme seseorang, dan yang patut diingat adalah pola politik semacam ini tidak hanya ada terdapat pada gelanggang politik nasional tapi lebih kebawah ke dalam organisasi-organisasi dalam masyarakat juga terdapat yang demikian itu, sadisme politik.
Tapi mau bagaimanapun semua itu juga tergantung dari latar belakangnya, sadisme politik bisa saja muncul karena adanya 'status quo' dengan orang-orang yang merasa nyaman didalamnya, atau bisa juga karena adanya upaya untuk menutup-nutupi kecurangan atau sekedar kesalahan yang pernah atau sedang terjadi, mengingat juga terdapat peran "kresna dan Sengkuni" dalam tiap laga politik tanah pertiwi. Atau memang inilah kenyataan dibalik wajah kesantunan bangsa ini?
Sabtu, 23 Februari 2013
Budaya dan pendidikan (III)
Ki hajar Dewantara pernah mengedepankan trilogi pendidikan dalam upaya membentuk karakter dan mentalitas manusia Indonesia, trilogi tersebut adalah kerja sama antara keluarga-sekolah dan masyarakat, ketiganya harus serentak menjadi motor pembentuk karakter dan mentalitas generasi bangsa. Jika salah satu saja komponen ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka salah satu komponen akan menjadi pusat konsentrasi, tumpuan, dan ini tidak baik sebab pada dasarnya malah menghancurkan tumpuan tersebut.
Inilah kenyataan yang ada terdapat di negeri ini, ketika hanya sekolah yang kini menjadi tumpuan, satu-satunya tumpuan, sekolah yang seharusnya merupakan lembaga pendidikan ini malah bergeser fungsinya, yaitu sebagai suatu hal yang layak dijual, indikasi awalnya adalah ketika sekolah merasa dibutuhkan oleh masyarakat, lalu ia membandroli dirinya untuk diperjual-belikan.
Sebaik apapun kebijakan pendidikan oleh pemerintah pusat sudah pasti dilapangan penerapannya lain, seperti halnya dengan telah dihapuskannya RSBI, apakah nantinya masih ada terdapat kelas "mandiri" atau model sekolah unggulan dan semacamnya? Yang tentunya semua itu~jangankan berpihak kepada rakyat, kepada pembukaan UUD 1945 saja tidak. Penghapusan RSBI sudah tepat, sangat tepat karena menghindarkan bangsa ini dari bentuk negara kelas, dan semoga saja pelaksanaan pendidikan nantinya juga demikian, lebih merakyat.
Saya pikir kebijakan pendidikan ini sudah tepat, tinggal bagaimana komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara tadi melaksanakannya, terutama sekali adalah sekolah yang sepertinya sedang memikul beban yang terlalu berat disini. Beban berat tentunya ketika sekolah menjadi satu-satunya tumpuan dari pendidikan dia masih harus berhadap-hadapan dengan kenyataannya saat ini, ia harus lepas dari kenyataan bahwa ia adalah barang pasar.
Kepekaan sosial akan dapat dimunculkan tidak hanya ketika sekolah mulai menerapkan kurikulum yang menekankan hal tersebut kepada siswanya, tapi perlu juga dukungan dari keluarga dan masyarakat, jika keluarga dan masyarakat bersifat terbuka maka kepekaan sosial akan terlatih dengan sendirinya, begitupun dengan sekolah. Sebaliknya jika keluarga dan masyarakat bersifat tertutup maka yang muncul hanyalah apatisme dan ketidak pedulian, padahal kepekaan sosial ini perlu, selain membangun suatu generasi yang peduli terhadap sesamanya juga dapat memperkuat sanksi sosial yang ada, kecuali jika memang masyarakat tidak menginginkan sanksi sosial tersebut, maka yang terjadi mungkin akan lebih tidak sehat dari lingkungan yang ada saat ini.
Kedisiplinan itu hanya dapat muncul dari kebiasaan, bukan karena ketakutan, dan kebiasaan akan dapat dibina dan berhasil guna ketika sanksi sosial ada, jika tidak maka yang terlahir adalah generasi yang apatis, masa bodoh dan dengan keadaan seperti itu kecurangan dan perilaku yang cenderung bebas tidak bertanggung jawab akan mudah ditemui.
Kalau pendidikan sendiri sudah terjebak pasar, ya jangankan berpikir tentang kedisiplinan, yang ada malah harapan bahwa sanksi sosial yang berawal dari kepedulian sosial tersebut benar-benar hilang, sebagaimana prasyarat kapitalisme: peran negara sekecil-kecilnya dan peran pasar sebesar-besarnya, prasyarat itu juga berlaku dalam hal pendidikan ketika ia terjebak dalam pasar.
Begitupun dengan permasalahan kemanusiaan, tanpa adanya kepekaan sosial yang terjadi adalah penelantaran terhadap kemanusiaan, meskipun ada terdapat rumusan peraturan perundangan dengan segenap sanksinya, tapi tanpa adanya kepekaan sosial yang menjamin adanya sanksi sosial dan kedisiplinan peraturan perundangan tersebut hanya akan jadi tulisan pasal-pasal semata. Toh hukum di negeri ini juga masih berpeluang untuk masuk dalam situasi "tawar-menawar".
Inilah kenyataan yang ada terdapat di negeri ini, ketika hanya sekolah yang kini menjadi tumpuan, satu-satunya tumpuan, sekolah yang seharusnya merupakan lembaga pendidikan ini malah bergeser fungsinya, yaitu sebagai suatu hal yang layak dijual, indikasi awalnya adalah ketika sekolah merasa dibutuhkan oleh masyarakat, lalu ia membandroli dirinya untuk diperjual-belikan.
Sebaik apapun kebijakan pendidikan oleh pemerintah pusat sudah pasti dilapangan penerapannya lain, seperti halnya dengan telah dihapuskannya RSBI, apakah nantinya masih ada terdapat kelas "mandiri" atau model sekolah unggulan dan semacamnya? Yang tentunya semua itu~jangankan berpihak kepada rakyat, kepada pembukaan UUD 1945 saja tidak. Penghapusan RSBI sudah tepat, sangat tepat karena menghindarkan bangsa ini dari bentuk negara kelas, dan semoga saja pelaksanaan pendidikan nantinya juga demikian, lebih merakyat.
Saya pikir kebijakan pendidikan ini sudah tepat, tinggal bagaimana komponen-komponen pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara tadi melaksanakannya, terutama sekali adalah sekolah yang sepertinya sedang memikul beban yang terlalu berat disini. Beban berat tentunya ketika sekolah menjadi satu-satunya tumpuan dari pendidikan dia masih harus berhadap-hadapan dengan kenyataannya saat ini, ia harus lepas dari kenyataan bahwa ia adalah barang pasar.
Kepekaan sosial akan dapat dimunculkan tidak hanya ketika sekolah mulai menerapkan kurikulum yang menekankan hal tersebut kepada siswanya, tapi perlu juga dukungan dari keluarga dan masyarakat, jika keluarga dan masyarakat bersifat terbuka maka kepekaan sosial akan terlatih dengan sendirinya, begitupun dengan sekolah. Sebaliknya jika keluarga dan masyarakat bersifat tertutup maka yang muncul hanyalah apatisme dan ketidak pedulian, padahal kepekaan sosial ini perlu, selain membangun suatu generasi yang peduli terhadap sesamanya juga dapat memperkuat sanksi sosial yang ada, kecuali jika memang masyarakat tidak menginginkan sanksi sosial tersebut, maka yang terjadi mungkin akan lebih tidak sehat dari lingkungan yang ada saat ini.
Kedisiplinan itu hanya dapat muncul dari kebiasaan, bukan karena ketakutan, dan kebiasaan akan dapat dibina dan berhasil guna ketika sanksi sosial ada, jika tidak maka yang terlahir adalah generasi yang apatis, masa bodoh dan dengan keadaan seperti itu kecurangan dan perilaku yang cenderung bebas tidak bertanggung jawab akan mudah ditemui.
Kalau pendidikan sendiri sudah terjebak pasar, ya jangankan berpikir tentang kedisiplinan, yang ada malah harapan bahwa sanksi sosial yang berawal dari kepedulian sosial tersebut benar-benar hilang, sebagaimana prasyarat kapitalisme: peran negara sekecil-kecilnya dan peran pasar sebesar-besarnya, prasyarat itu juga berlaku dalam hal pendidikan ketika ia terjebak dalam pasar.
Begitupun dengan permasalahan kemanusiaan, tanpa adanya kepekaan sosial yang terjadi adalah penelantaran terhadap kemanusiaan, meskipun ada terdapat rumusan peraturan perundangan dengan segenap sanksinya, tapi tanpa adanya kepekaan sosial yang menjamin adanya sanksi sosial dan kedisiplinan peraturan perundangan tersebut hanya akan jadi tulisan pasal-pasal semata. Toh hukum di negeri ini juga masih berpeluang untuk masuk dalam situasi "tawar-menawar".
Jumat, 22 Februari 2013
Perlawanan aparat "underground"
Tidak bosan-bosan menulis tentang perlawanan aparat-aparat musik "underground" terhadap kemapanan, sebagaimana tidak pernah bosan untuk mendengar karya-karya mereka, meskipun sementara hanya dapat menulis tentang yang saya ingat, tapi pengalaman bagi saya adalah hal yang paling asyik untuk ditulis.
Kebosanan benar-benar melanda saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kegemaran saya berolah raga, ada dua bidang olah raga yang saya pilih waktu itu: silat dan sepak bola, dan waktu itu saya pikir dua hal ini tidak akan banyak membantu saya nantinya. Sebagai seorang bek kanan di dua SSB (Gajayana dan Bina Bola) saya memiliki tubuh yang kurang proposional, terlalu kurus meskipun saya punya "sprint" dan gaya mirip Christian Panucci, tapi toh pada dasarnya waktu itu saya hanya termotivasi oleh ramainya suporter sepak bola, dalam hal ini terutama aremania. Jadi saya pikir kemungkinan karir saya bakalan "stop" hanya sebagai suporter.
Sebagai seorang pesilat pun tidak menguntungkan bagi saya, meskipun berhasil menguasai seluruh teknik (sikap) dasar dan berhasil merangkai gerakan untuk suatu momentum tapi saya mengalami kejenuhan akut waktu itu, tidak saja karena ujian kenaikan tingkat yang terlanjur saya bayar terus diundur, tapi juga karena saya sadari bahwa perkelahian jalanan sangat berbeda dengan beladiri, apalagi ketika terjebak tawuran diterminal atau di stadion, sama sekali berbeda.
Semenjak naik ke kelas tiga kehidupan berubah drastis, saya lebih sering di terminal dan alun-alun daripada di sekolah, mungkin karena kejenuhan juga saya jadi seperti itu, sementara saya sedang mengenal hal-hal yang dapat menganulir dogma-dogma, dogma yang senantiasa membuat bingung ketika dihadapkan dengan realitas. Hal-hal itu adalah musik "underground", pertama sekali yang saya kenal adalah genre grunge dan black metal.
Lucunya waktu itu adalah ketika pertama saya kenali mereka sebagai geng berandalan, sebuah kelompok yang mencari cara menghilangkan kebosanan dengan berkuasa di jalanan, dan punk adalah kelompok sasarannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk saya sadari bahwa mereka adalah kumpulan para pecinta musik yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi atas dasar jenis musik yang mereka dengarkan.
Tiap hari, begitu sore menjelang, jalanan diseputaran alun-alun berubah menjadi daerah hegemoni yang selalu siap jadi tempat pertempuran. Anak-anak punk pada waktu itu sering terlihat di depan Gajahmada Plaza, sedang para grungers berkuasa di halaman Ramayana Dept. Store. Di alun-alun yang waktu itu masih sesak dengan kehadiran warung-warung permanen terlihat lebih meyeramkan, ditiap pojokkannya ada pohon beringin yang dihuni oleh kalangan pemuda berambut panjang, Brigade Long Hair, ditengah-tengahnya ada kerumunan anak metal yang selalu siap menghajar anak-anak punk.
Di terminal Arjosari lain lagi ceritanya, selain preman dan anak jalanan (waktu itu anak jalanan tidak terpengaruh oleh kehadiran simbol-simbol punk) juga ada pasar gelap, menyediakan aneka kebutuhan yang tidak terdapat di pasar pada umumnya, dari obat-obatan, ganja, senapan, buku kiri dan album kaset musik "underground" yang tidak akan mungkin ada di toko kaset. Suasana juga cukup tegang disini dengan isu kehadiran intelijen dan persaingan antar pedagang. Saya kenal wacana kiri dari sini, meskipun pada waktu itu yang saya kenali hanyalah tindakan-tindakan "protes" terhadap pemerintahan, dimana kebijakannya yang selalu merugikan banyak orang tapi hal tersebut juga selalu ditutup-tutupi.
"Underground" menjadi jendela untuk melihat keluar waktu itu ketika buku-buku, media massa dan kesenian sendiri yang terhalang dan bahkan dimanfaatkan oleh regim berkuasa untuk menutup mata masyarakat terhadap kebenaran, maka "underground" menjadi satu-satunya jalur penghubung masyarakat yang terisolir secara politik terhadap kenyataan. Hal ini juga mengingat adanya koran-koran fotokopian (buletin) yang sebagian juga dikelola oleh pelaku "underground" ini.
Begitupun dengan keberadaan warung kopi, bahkan di Aceh yang pada waktu itu diberlakukan DOM keberadaan warung kopi malah jadi suatu tindakan subversif, di Malang sebenarnya adalah sama hanya saja tidak berlaku DOM disini, saya memulai belajar wacana politik disini selain dari syair lagu Iwan Fals dan musik "underground".
Yang saya sadari waktu itu adalah kehadiran kaum "kaum underground" ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan, mereka hadir bukan sekedar untuk menolak penindasan tapi juga menggambarkan akibat-akibat dari penindasan.
Kebosanan benar-benar melanda saya ketika saya memutuskan untuk meninggalkan kegemaran saya berolah raga, ada dua bidang olah raga yang saya pilih waktu itu: silat dan sepak bola, dan waktu itu saya pikir dua hal ini tidak akan banyak membantu saya nantinya. Sebagai seorang bek kanan di dua SSB (Gajayana dan Bina Bola) saya memiliki tubuh yang kurang proposional, terlalu kurus meskipun saya punya "sprint" dan gaya mirip Christian Panucci, tapi toh pada dasarnya waktu itu saya hanya termotivasi oleh ramainya suporter sepak bola, dalam hal ini terutama aremania. Jadi saya pikir kemungkinan karir saya bakalan "stop" hanya sebagai suporter.
Sebagai seorang pesilat pun tidak menguntungkan bagi saya, meskipun berhasil menguasai seluruh teknik (sikap) dasar dan berhasil merangkai gerakan untuk suatu momentum tapi saya mengalami kejenuhan akut waktu itu, tidak saja karena ujian kenaikan tingkat yang terlanjur saya bayar terus diundur, tapi juga karena saya sadari bahwa perkelahian jalanan sangat berbeda dengan beladiri, apalagi ketika terjebak tawuran diterminal atau di stadion, sama sekali berbeda.
Semenjak naik ke kelas tiga kehidupan berubah drastis, saya lebih sering di terminal dan alun-alun daripada di sekolah, mungkin karena kejenuhan juga saya jadi seperti itu, sementara saya sedang mengenal hal-hal yang dapat menganulir dogma-dogma, dogma yang senantiasa membuat bingung ketika dihadapkan dengan realitas. Hal-hal itu adalah musik "underground", pertama sekali yang saya kenal adalah genre grunge dan black metal.
Lucunya waktu itu adalah ketika pertama saya kenali mereka sebagai geng berandalan, sebuah kelompok yang mencari cara menghilangkan kebosanan dengan berkuasa di jalanan, dan punk adalah kelompok sasarannya. Tidak butuh waktu yang lama untuk saya sadari bahwa mereka adalah kumpulan para pecinta musik yang terbagi-bagi dalam faksi-faksi atas dasar jenis musik yang mereka dengarkan.
Tiap hari, begitu sore menjelang, jalanan diseputaran alun-alun berubah menjadi daerah hegemoni yang selalu siap jadi tempat pertempuran. Anak-anak punk pada waktu itu sering terlihat di depan Gajahmada Plaza, sedang para grungers berkuasa di halaman Ramayana Dept. Store. Di alun-alun yang waktu itu masih sesak dengan kehadiran warung-warung permanen terlihat lebih meyeramkan, ditiap pojokkannya ada pohon beringin yang dihuni oleh kalangan pemuda berambut panjang, Brigade Long Hair, ditengah-tengahnya ada kerumunan anak metal yang selalu siap menghajar anak-anak punk.
Di terminal Arjosari lain lagi ceritanya, selain preman dan anak jalanan (waktu itu anak jalanan tidak terpengaruh oleh kehadiran simbol-simbol punk) juga ada pasar gelap, menyediakan aneka kebutuhan yang tidak terdapat di pasar pada umumnya, dari obat-obatan, ganja, senapan, buku kiri dan album kaset musik "underground" yang tidak akan mungkin ada di toko kaset. Suasana juga cukup tegang disini dengan isu kehadiran intelijen dan persaingan antar pedagang. Saya kenal wacana kiri dari sini, meskipun pada waktu itu yang saya kenali hanyalah tindakan-tindakan "protes" terhadap pemerintahan, dimana kebijakannya yang selalu merugikan banyak orang tapi hal tersebut juga selalu ditutup-tutupi.
"Underground" menjadi jendela untuk melihat keluar waktu itu ketika buku-buku, media massa dan kesenian sendiri yang terhalang dan bahkan dimanfaatkan oleh regim berkuasa untuk menutup mata masyarakat terhadap kebenaran, maka "underground" menjadi satu-satunya jalur penghubung masyarakat yang terisolir secara politik terhadap kenyataan. Hal ini juga mengingat adanya koran-koran fotokopian (buletin) yang sebagian juga dikelola oleh pelaku "underground" ini.
Begitupun dengan keberadaan warung kopi, bahkan di Aceh yang pada waktu itu diberlakukan DOM keberadaan warung kopi malah jadi suatu tindakan subversif, di Malang sebenarnya adalah sama hanya saja tidak berlaku DOM disini, saya memulai belajar wacana politik disini selain dari syair lagu Iwan Fals dan musik "underground".
Yang saya sadari waktu itu adalah kehadiran kaum "kaum underground" ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan, mereka hadir bukan sekedar untuk menolak penindasan tapi juga menggambarkan akibat-akibat dari penindasan.
Langganan:
Postingan (Atom)